24 Juni 2011

Kata Kacau Kalimat Balau


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Anak/Perempuan
Media: Harian Semarang
Judul: Bayi TKI Dibuang di Teras Rumah
Hari/Tanggal: Kamis, 28 April 2011
Posisi: Hlm 10, kolom 1-5, bawah, rasteran, non-headline

BAHASA jurnalistik menjadi ragam bahasa tersendiri karena memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik. Akan tetapi, pada praktiknya, kekhasan itu acap kali tidak muncul dan tergantikan oleh ”ragam bahasa amburadul”. Berita ”Bayi TKI Dibuang di Teras Rumah” yang terdiri atas delapan alinea ini hanya salah satu contoh. Karena menggunakan bentukan pasif, ”dibuang”, judulnya saja sudah tidak memberikan informasi yang jelas. Siapa yang membuang bayi TKI itu? Mungkin ibu, bapak, majikan, nenek, atau malah tetangga!

Alinea pertama: Seorang ibu yang telah pergi ke Saudi Arabia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tega membuang bayinya yang baru berusia sekitar dua pekan. Bayi mungil berjenis kelamin laki-laki ini ditemukan di teras rumah milik Haji Soheh, warga RT 2/RW 6 Kampung Kudu Kramat, Kelurahan Kudu, Kecamatan Genuk, dini hari kemarin. Sekilas baca tampak tak ada yang keliru. Tapi coba amati penggunaan ”telah”, ”tega”, ”ini”, ”berjenis kelamin”, dan ”milik” itu.

Bagaimana mungkin ibu yang telah pergi ke Arab bisa ”membuang” bayinya dini hari kemarin? Apakah dia begitu sakti sampai-sampai bisa melemparkan bayi dari negeri nun jauh hingga jatuh di Semarang? Dari mana wartawan tahu si ibu tega? Bukankah wartawan, mestinya, hanya melaporkan kejadian, bukan beropini, apalagi menghakimi? Lagi pula, jika si ibu benar-benar tega, teras rumah orang bukanlah tempat pembuangan yang ideal. Kemudian, karena menunjuk ”obyek” yang sudah tersebut, kata ”ini” tidaklah tepat. Yang tepat adalah ”itu”. Sedangkan kata ”milik” sama sekali tak perlu karena termasuk kata yang melesap. Ketika muncul, kata itu justru merusak kepadatan kalimat. Demikian pula ”berjenis kelamin” (laki-laki). Boros!

Alinea kedua: Bayi tersebut ditemukan oleh Muntoha (38), warga Kampung Kudu Kramat Rabu (27/4) sekitar pukul 01.00. Awalnya dia mendengar suara sang bayi. Alinea ketiga: Dengan mengajak istrinya, Imrotun (35), dia keluar dari rumah untuk mencari asal suara tangisan tersebut. Setelah beberapa lama kemudian benar, Muntoha menemukan sumber suara tangisan bayi itu. Bahwa suara berasal dari rumah Soheh.

Saya berani memastikan, dua alinea itu semula satu karena alinea kedua sangat menggantung. Tata letak pemenuhan kolom, agar pas di ujung berita atau rata bawah misalnya, mengalahkan kohesi paragraf. Kata-kata yang saya tebalkan menunjukkan keterbatasan sekaligus pemborosan. Ada dua ”tersebut” plus satu ”itu” yang sama fungsi dan empat ”suara”. Sudah ”setelah”, masih juga ”kemudian”. Cukup ”keluar rumah”, muncul ”dari” di tengah. Dan ”sang”? Tak tahukah bahwa kata sandang itu bisa bermakna kepemilikan? Dengan menggunakan ”sang”, bayi itu jadi anak Muntoha.

Alinea keempat: Saat itu, kondisi pagar warna putih setinggi dua meter di rumah Soheh sudah dalam keadaan terbuka. Mutoha melihat sebuah kain putih tergeletak di teras. ”Saya kaget, ternyata ada bayi yang tergeletak di teras,” paparnya. Amati, hanya hendak menyatakan ”pagar yang terbuka”, wartawan menambahkan kata dan keterangan lain yang lagi-lagi merusak kepadatan. Apa guna kata ”kondisi”, ”warna”, dan ”sudah dalam keadaan”? Belum lagi, asal tahu saja, putih itu bukan warna! Untuk kain, Kawan, gunakanlah kata ”selembar”, bukan ”sebuah”.

Alinea kelima: Setelah dihampiri, bayi yang merengek kedinginan ditinggal ibunya itu diselimuti dengan kain bermotif putih dengan bungkusan plastik hitam. Barang-barang lain terdapat pakaian dan susu. Kurang lebih mempunyai panjang 52 cm dan berat badan 3 kilogram. Siapa yang ”menghampiri”, siapa pula yang ”menyelimuti”? Bayi berusia dua pekan, sudah bisakah dia merengek? Motif adalah corak (lurik atau kotak-kotak). Bermotif putih? Alamak! Penggunaan ”barang-barang lain” membuat bayi itu tergolong barang juga. Kalimat ketiga berkesan wartawan tiba-tiba ingat panjang dan berat bayi lalu menuliskannya begitu saja tanpa peduli alur paragraf.

Pada alinea keenam, ada kutipan ”surat wasiat” si ibu: Mohon maaf, saya tidak mempunyai biaya untuk merawat anak saya ini. Suami juga meninggalkan saya. Untuk itu, saya akan pergi ke Arab untuk menjadi TKW. Mohon didik anak saya supaya menjadi anak yang soleh.” Tersurat dan tersirat, perempuan itu menitipkan anaknya, bukan membuang, walau dia lakukan dengan diam-diam. Dia juga bukan telah (sebagaimana tertulis pada alinea pertama berita) melainkan akan pergi ke Arab Saudi. Kok bisa telah? Hanya wartawan yang tahu...

Begitulah. Jika kata-kata kacau, kalimat pun balau. Dan berita yang tersuguhkan, tak pelak, kacau-balau.

(Seolah-olah) Peduli Perempuan


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Perempuan
Media: Jawa Pos– Radar Semarang
Judul: Perempuan Dituntut Kritis dan Kreatif
Hari/Tanggal: Jumat, 22 April 2011
Posisi: Hlm 9, kolom 3-5, tengah, non-headline

BERITA tentang perempuan tidak serta-merta menunjukkan kepedulian media terhadap perempuan. Sangat bisa jadi hanya ”seremoni” seperti peringatan Hari Kartini. Ya, semacam berita apa boleh buat. Akibatnya, perempuan yang sekilas tampak sebagai subyek, justru menjadi obyek atau bahkan ”korban keadaan”. Berita berjudul ”Perempuan Dituntut Kritis dan Kreatif” ini contohnya.

Bacalah dengan saksama. Pada judul, kata ”perempuan” memang terletak di depan tapi terikuti kata pasif ”dituntut”, bukan kata aktif ”menuntut”. Jika kalimat itu dibalik, bakal terlihat jelas ”perempuan” bukanlah subyek melainkan obyek: ” ..... Menuntut Perempuan (untuk) Kritis dan Kreatif”. Subyeknya? Silakan isi sendiri titik-titik itu. Bisa orang (laki-laki), bisa juga ”keadaan” sebagaimana terangkum dalam isi berita.

Berita ini terdiri atas delapan alinea. Alinea 1-6 berisi sambutan Bupati HA Kholiq Arif pada peringatan Hari Kartini (21/4) yang berbarengan dengan pelantikan pengurus Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Wonosobo periode 2011-2015. Tak pelak, meski bertopik perempuan, berita ini jatuh menjadi monolog laki-laki tentang perempuan ”ideal”.

Dengan kalimat-kalimat era Millenium Development Goals (MDGs), termasuk frasa pengarusutamaan gender (jiaaahhh!!), Bupati mengatakan antara lain, ”... dengan semangat Kartini, perempuan di Wonosobo harus lebih berdaya dan berkualitas. Tidak hanya cerdas dan berpendidikan tinggi, namun juga harus sehat, kreatif, berperilaku positif, religius, bisa memimpin dan memiliki jiwa kepemimpinan, serta mandiri, bahagia, dan lebih sejahtera....”

Alinea 7-8 adalah berita lain, digabungkan karena sejenis, berisi informasi tentang peringatan Hari Kartini yang sebenarnya justru ”perempuan banget”: seminar peran perempuan di ranah publik yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Wonosobo. Wakil Bupati Wonosobo Maya Rosida, Ketua Bidang Iptek dan Seni Budaya Kowani Haililah, dan Ketua Fatayat Kabupaten Wonosobo Amiroh Zaetun hadir sebagai narasumber.

Jika benar-benar peduli terhadap perempuan, media atau jurnalis mestinya membalik isi berita: sebagian besar (alinea 1-6) tentang apa saja peran dan persoalan perempuan yang mengemuka dalam seminar, sebagian kecil (alinea 7-8) berita lain tentang Bupati Wonosobo yang hadir dan melantik pengurus GOW. Pemasangan foto Wakil Bupati Maya Rosida sebagai pelengkap berita ini mungkin untuk memenuhi asas ”keadilan”, namun justru menjadi tanda yang bisa saja terbaca bahwa perempuan boleh berbicara asal tanpa suara!