24 Juni 2011

Kata Kacau Kalimat Balau


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Anak/Perempuan
Media: Harian Semarang
Judul: Bayi TKI Dibuang di Teras Rumah
Hari/Tanggal: Kamis, 28 April 2011
Posisi: Hlm 10, kolom 1-5, bawah, rasteran, non-headline

BAHASA jurnalistik menjadi ragam bahasa tersendiri karena memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik. Akan tetapi, pada praktiknya, kekhasan itu acap kali tidak muncul dan tergantikan oleh ”ragam bahasa amburadul”. Berita ”Bayi TKI Dibuang di Teras Rumah” yang terdiri atas delapan alinea ini hanya salah satu contoh. Karena menggunakan bentukan pasif, ”dibuang”, judulnya saja sudah tidak memberikan informasi yang jelas. Siapa yang membuang bayi TKI itu? Mungkin ibu, bapak, majikan, nenek, atau malah tetangga!

Alinea pertama: Seorang ibu yang telah pergi ke Saudi Arabia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tega membuang bayinya yang baru berusia sekitar dua pekan. Bayi mungil berjenis kelamin laki-laki ini ditemukan di teras rumah milik Haji Soheh, warga RT 2/RW 6 Kampung Kudu Kramat, Kelurahan Kudu, Kecamatan Genuk, dini hari kemarin. Sekilas baca tampak tak ada yang keliru. Tapi coba amati penggunaan ”telah”, ”tega”, ”ini”, ”berjenis kelamin”, dan ”milik” itu.

Bagaimana mungkin ibu yang telah pergi ke Arab bisa ”membuang” bayinya dini hari kemarin? Apakah dia begitu sakti sampai-sampai bisa melemparkan bayi dari negeri nun jauh hingga jatuh di Semarang? Dari mana wartawan tahu si ibu tega? Bukankah wartawan, mestinya, hanya melaporkan kejadian, bukan beropini, apalagi menghakimi? Lagi pula, jika si ibu benar-benar tega, teras rumah orang bukanlah tempat pembuangan yang ideal. Kemudian, karena menunjuk ”obyek” yang sudah tersebut, kata ”ini” tidaklah tepat. Yang tepat adalah ”itu”. Sedangkan kata ”milik” sama sekali tak perlu karena termasuk kata yang melesap. Ketika muncul, kata itu justru merusak kepadatan kalimat. Demikian pula ”berjenis kelamin” (laki-laki). Boros!

Alinea kedua: Bayi tersebut ditemukan oleh Muntoha (38), warga Kampung Kudu Kramat Rabu (27/4) sekitar pukul 01.00. Awalnya dia mendengar suara sang bayi. Alinea ketiga: Dengan mengajak istrinya, Imrotun (35), dia keluar dari rumah untuk mencari asal suara tangisan tersebut. Setelah beberapa lama kemudian benar, Muntoha menemukan sumber suara tangisan bayi itu. Bahwa suara berasal dari rumah Soheh.

Saya berani memastikan, dua alinea itu semula satu karena alinea kedua sangat menggantung. Tata letak pemenuhan kolom, agar pas di ujung berita atau rata bawah misalnya, mengalahkan kohesi paragraf. Kata-kata yang saya tebalkan menunjukkan keterbatasan sekaligus pemborosan. Ada dua ”tersebut” plus satu ”itu” yang sama fungsi dan empat ”suara”. Sudah ”setelah”, masih juga ”kemudian”. Cukup ”keluar rumah”, muncul ”dari” di tengah. Dan ”sang”? Tak tahukah bahwa kata sandang itu bisa bermakna kepemilikan? Dengan menggunakan ”sang”, bayi itu jadi anak Muntoha.

Alinea keempat: Saat itu, kondisi pagar warna putih setinggi dua meter di rumah Soheh sudah dalam keadaan terbuka. Mutoha melihat sebuah kain putih tergeletak di teras. ”Saya kaget, ternyata ada bayi yang tergeletak di teras,” paparnya. Amati, hanya hendak menyatakan ”pagar yang terbuka”, wartawan menambahkan kata dan keterangan lain yang lagi-lagi merusak kepadatan. Apa guna kata ”kondisi”, ”warna”, dan ”sudah dalam keadaan”? Belum lagi, asal tahu saja, putih itu bukan warna! Untuk kain, Kawan, gunakanlah kata ”selembar”, bukan ”sebuah”.

Alinea kelima: Setelah dihampiri, bayi yang merengek kedinginan ditinggal ibunya itu diselimuti dengan kain bermotif putih dengan bungkusan plastik hitam. Barang-barang lain terdapat pakaian dan susu. Kurang lebih mempunyai panjang 52 cm dan berat badan 3 kilogram. Siapa yang ”menghampiri”, siapa pula yang ”menyelimuti”? Bayi berusia dua pekan, sudah bisakah dia merengek? Motif adalah corak (lurik atau kotak-kotak). Bermotif putih? Alamak! Penggunaan ”barang-barang lain” membuat bayi itu tergolong barang juga. Kalimat ketiga berkesan wartawan tiba-tiba ingat panjang dan berat bayi lalu menuliskannya begitu saja tanpa peduli alur paragraf.

Pada alinea keenam, ada kutipan ”surat wasiat” si ibu: Mohon maaf, saya tidak mempunyai biaya untuk merawat anak saya ini. Suami juga meninggalkan saya. Untuk itu, saya akan pergi ke Arab untuk menjadi TKW. Mohon didik anak saya supaya menjadi anak yang soleh.” Tersurat dan tersirat, perempuan itu menitipkan anaknya, bukan membuang, walau dia lakukan dengan diam-diam. Dia juga bukan telah (sebagaimana tertulis pada alinea pertama berita) melainkan akan pergi ke Arab Saudi. Kok bisa telah? Hanya wartawan yang tahu...

Begitulah. Jika kata-kata kacau, kalimat pun balau. Dan berita yang tersuguhkan, tak pelak, kacau-balau.

(Seolah-olah) Peduli Perempuan


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Perempuan
Media: Jawa Pos– Radar Semarang
Judul: Perempuan Dituntut Kritis dan Kreatif
Hari/Tanggal: Jumat, 22 April 2011
Posisi: Hlm 9, kolom 3-5, tengah, non-headline

BERITA tentang perempuan tidak serta-merta menunjukkan kepedulian media terhadap perempuan. Sangat bisa jadi hanya ”seremoni” seperti peringatan Hari Kartini. Ya, semacam berita apa boleh buat. Akibatnya, perempuan yang sekilas tampak sebagai subyek, justru menjadi obyek atau bahkan ”korban keadaan”. Berita berjudul ”Perempuan Dituntut Kritis dan Kreatif” ini contohnya.

Bacalah dengan saksama. Pada judul, kata ”perempuan” memang terletak di depan tapi terikuti kata pasif ”dituntut”, bukan kata aktif ”menuntut”. Jika kalimat itu dibalik, bakal terlihat jelas ”perempuan” bukanlah subyek melainkan obyek: ” ..... Menuntut Perempuan (untuk) Kritis dan Kreatif”. Subyeknya? Silakan isi sendiri titik-titik itu. Bisa orang (laki-laki), bisa juga ”keadaan” sebagaimana terangkum dalam isi berita.

Berita ini terdiri atas delapan alinea. Alinea 1-6 berisi sambutan Bupati HA Kholiq Arif pada peringatan Hari Kartini (21/4) yang berbarengan dengan pelantikan pengurus Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Wonosobo periode 2011-2015. Tak pelak, meski bertopik perempuan, berita ini jatuh menjadi monolog laki-laki tentang perempuan ”ideal”.

Dengan kalimat-kalimat era Millenium Development Goals (MDGs), termasuk frasa pengarusutamaan gender (jiaaahhh!!), Bupati mengatakan antara lain, ”... dengan semangat Kartini, perempuan di Wonosobo harus lebih berdaya dan berkualitas. Tidak hanya cerdas dan berpendidikan tinggi, namun juga harus sehat, kreatif, berperilaku positif, religius, bisa memimpin dan memiliki jiwa kepemimpinan, serta mandiri, bahagia, dan lebih sejahtera....”

Alinea 7-8 adalah berita lain, digabungkan karena sejenis, berisi informasi tentang peringatan Hari Kartini yang sebenarnya justru ”perempuan banget”: seminar peran perempuan di ranah publik yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Wonosobo. Wakil Bupati Wonosobo Maya Rosida, Ketua Bidang Iptek dan Seni Budaya Kowani Haililah, dan Ketua Fatayat Kabupaten Wonosobo Amiroh Zaetun hadir sebagai narasumber.

Jika benar-benar peduli terhadap perempuan, media atau jurnalis mestinya membalik isi berita: sebagian besar (alinea 1-6) tentang apa saja peran dan persoalan perempuan yang mengemuka dalam seminar, sebagian kecil (alinea 7-8) berita lain tentang Bupati Wonosobo yang hadir dan melantik pengurus GOW. Pemasangan foto Wakil Bupati Maya Rosida sebagai pelengkap berita ini mungkin untuk memenuhi asas ”keadilan”, namun justru menjadi tanda yang bisa saja terbaca bahwa perempuan boleh berbicara asal tanpa suara!

21 April 2011

Mestinya, Tidak Sama...


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Keluarga/Perceraian
Media: Jawa Pos– Radar Semarang
Judul: 80 Persen Pemicunya Selingkuh
Hari/Tanggal: Senin, 11 April 2011
Posisi: Hlm 1, kolom 3-5, bawah, non-headline

Topik: Keluarga/Perceraian
Media: Harian Semarang
Judul: Perselingkuhan Biang Perceraian di Semarang
Hari/Tanggal: Senin, 11 April 2011
Posisi: Hlm 10, kolom 3-7, bawah, non-headline

DALAM dunia (kerja) jurnalistik, fakta memang terbagi dalam dua kategori: fakta kejadian dan fakta pendapat. Dua-duanya bisa tampil bersama namun bisa juga tampil sendiri-sendiri. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan, sebuah berita lahir berdasarkan isu yang sedang berkembang di masyarakat dan hanya berisi pendapat narasumber. Biasanya, berita semacam itu menjadi pendukung ”berita utama” yang berdasarkan fakta kejadian. Nah, berita di dua koran ini termasuk dalam berita yang berisi fakta pendapat namun bukan berita pendukung, sekaligus bisa jadi contoh berita model ”serupa tapi tak sama”.

Judul berbeda tetapi isinya sama, yakni soal angka dan penyebab perceraian di Semarang: 80 persen karena perselingkuhan. Semula saya mengira berita itu berdasarkan paparan dalam sebuah diskusi atau seminar. Ternyata, sebagaimana yang bisa kita baca dalam berita, bukan. Di alinea pertama, wartawan Radar Semarang menulis: .... Fakta itu diungkapkan oleh Juru Bicara Pengadilan Agama (PA) Semarang, Drs Wahyudi SH, Msi. Tak ada penjelasan di mana dan kapan, apalagi kenapa, Wahyudi mengungkapkan fakta tersebut.

Sedangkan wartawan Harian Semarang menulis di alinea kedua: Humas PA Semarang Wahyudi mengatakan, selain perselingkuhan, faktor ekonomi juga menjadi biang perceraian. ”Paling banyak karena perselingkuhan. Jumlahnya sekitar 80%,” katanya, saat dihubungi, kemarin. Artinya, wartawan aktif menghubungi Wahyudi. Jelas kapan, yakni kemarin, tapi entah di mana atau lewat apa.

Yang aneh, meski termuat di koran berbeda dan mestinya ”bersaing”, kesamaan berita itu tak hanya menyangkut isi namun juga alur. Kalimat dan kutipan memang (agak) berbeda tetapi narasumber dan ”letak” mereka di dalam berita sama persis. Yang pertama Wahyudi (humas PA Semarang), kemudian Akhwan Fanani (Walisongo Mediation Center), lalu Hastaning Sakti (psikolog Undip).

Kalau bukan berdasarkan fakta kejadian semacam diskusi atau seminar, bagaimana mungkin wartawan dari media yang berbeda bisa menulis berita dengan narasumber dan alur yang sama? Apakah mereka merancang berita itu bersama-sama? Jika memang fakta dan pendapat itu muncul dalam sebuah peristiwa, mengapa wartawan ”enggan” menulis dengan jelas peristiwa apa, kapan, dan di mana tepatnya? Di luar itu, bahkan dari peristiwa yang sama, wartawan tentu memiliki sudut pandang atau minimal cara menyusun berita yang tidak sama. Mestinya!

Nyelonong dalam (Bentuk) Berita









Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Kesehatan
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul: Laparoskopi RSUD Dr Kariadi, Permudah Operasi Pembedahan
Hari/Tanggal: Kamis, 31 Maret 2011
Posisi: Hlm D, kolom 3-7, tengah, non-headline

Topik: Kecantikan
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul: Inginkan Perut Indah Tak Perlu Diet Ketat
Hari/Tanggal: Kamis, 31 Maret 2011
Posisi: Hlm D, kolom 3-7, tengah-bawah, non-headline

Topik: Pendidikan
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul: Cheerleading SMA 3 Juara IV ASEAN
Hari/Tanggal: Kamis, 31 Maret 2011
Posisi: Hlm D, kolom 3-9, bawah, non-headline


PADA ”zaman dahulu kala”, ada pagar api di dunia jurnalistik, yaitu pagar yang memisahkan antara berita dan iklan. Berita adalah berita, iklan adalah iklan. Jika ada berita berbau iklan, berarti wartawan telah menerabas pagar api dengan motif ekonomi. Ketika iklan telah menjadi darah media seperti zaman sekarang, hampir seluruh media mencari cara dan formula untuk memadukan keduanya. Ada yang elegan dengan membuat halaman atau rubrikasi baru agar berita tak tercemari pesan sponsor, namun ada juga yang malah ”kebingungan” sehingga berita dan iklan tak lagi terbedakan.

Tiga ”berita” yang muncul pada hari dan halaman yang sama di Suara Merdeka (Kamis, 31 Maret 2011) ini adalah contoh ”kebingungan” itu.

Yang pertama, ”Laparoskopi RSUP Dr Kariadi, Permudah Operasi Pembedahan”. Isinya informatif, yaitu tentang alat berbentuk teropong yang mempermudah dokter untuk membedah organ dalam pasien. Tapi inilah berita tanpa peristiwa. Tak ada contoh kasus aktual, tak ada seminar, tak ada pula sekadar jumpa pers, tiba-tiba muncul ”berita” berdasarkan wawancara dengan dr Kunsemedi SpBD, pakar bedah RUSP Dr Kariadi. Meski tersembunyi, pesan utamanya jelas: rumah sakit ini punya laparoskopi, jika butuh pembedahan, datanglah kemari.

Yang kedua, ”Inginkan Perut Indah Tak Perlu Diet Ketat”. Posisi ”berita” ini di halaman D Semarang Metro ada di antara ”berita” tentang laparoskopi dan SMA 3, namun saya letakkan pada posisi ketiga di sini karena merupakan ”berita” terparah. Hanya empat alinea. Alinea 1-3 berisi tentang arti perut indah bagi wanita, kendala dan kesulitan melangsingkan perut, dan diet bukan satu-satunya pilihan. Jangankan peristiwa, data dan narasumber pun tak ada. Alinea keempat, ini iklan cetha mela-mela, ada teknologi program pelangsingan tubuh yang diimpor dari Korea di... ”...Orchid Beauty Center yang menempati lantai dua, kompleks Kolam Renang Metro Atlantis, Jln MT Haryono 1014-1016 (setelah Java Mall)....” Lihat! Bahkan sampai alamat pun wartawan perlu menjelaskan ”sedetail” tukang becak di pinggir jalan.

Yang ketiga, ”Cheerleading SMA 3 Juara IV ASEAN”. Apa beritanya? Tim Cheerleading SMA 3 Semarang meraih juara keempat dalam ”1st Southeast Asia Open Cheerleading Championship” di Singapura. Kapan? Pada alinea pertama tertulis ”baru-baru ini”. Bagaimana mungkin tanggal sebuah ”keberhasilan” dalam kompetisi di tingkat ASEAN tak tercatat? Keterangan waktu ”baru-baru ini” adalah tanda bahwa ini berita basi. Bau iklan karena pemaksaan unsur aktualitas sudah menguat dari sini. Dan kian menyengat karena ”berita” terfokus pada si juara IV yang tak membawa pulang medali (kok juara?) tanpa keterangan tim mana sajakah yang meraih juara I, II, dan III. Yang lebih aneh, foto pendukung ”berita” ini adalah foto saat mereka latihan, bukan saat bertanding!

Jika tiga berita tersebut termuat di halaman khusus advertorial, infotorial, edutorial, medistorial, cantiktorial, atau torial-torial yang lain, ya wis-lah! Tapi ketiganya termuat di halaman berita, di bawah headline ”Lagi, Tertipu Undian Berhadiah, Rp 14,8 Juta Raib”. Ya, di antara kreativitas menyiasati prinsip pagar api, masih saja ada iklan yang nyelonong dalam (bentuk) berita. Atau, jangan-jangan, berita tentang penipuan itu yang justru salah tempat?

25 Maret 2011

”Melawan” Pelajaran Mengarang


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Anak/Pendidikan
Media: Warta Jateng
Judul: Saat Siswa SD Berinteraksi dengan ”Landa”
Hari/Tanggal: Rabu, 23 Maret 2011
Posisi: Hlm 3, kolom 1-4, tengah, non-headline

BERITA ini menunjukkan kepedulian wartawan/media pada anak dan pendidikan. Penggunaan feature, bukan straight news, juga merupakan pilihan yang tepat karena memiliki keluasan ruang untuk berbagai pernik (kejadian) menarik. Bahannya pun sangat potensial untuk menjadi laporan nan menawan: lima mahasiswa asing ”KKN” di SD Patemon 01, Gunungpati, Semarang.

Sayang-disayang, meski berjudul ”Saat Siswa SD Berinteraksi dengan ’Landa’”, yang tersuguhkan tak lebih dari berita biasa. Tanpa warna. Hanya paparan informasi standar berikut kutipan keterangan Amelia Christanti, relawan Dejavato Foundation, tentang program ”pembauran” dan keterangan Kepala SD Patemon 01, Sri Hartati, perihal tamu yang juga membantu perbaikan atap sekolah itu.

Tidak ada tingkah dan celetukan (lucu) para siswa saat berinteraksi dengan landa. Tidak ada komentar satu dua anak tentang tamu dari jauh yang (bakal) tinggal selama dua minggu bersama mereka. Bahkan, ini pun aneh, wartawan tak mengutip pula komentar lima mahasiswa dari negeri seberang itu soal program yang sedang mereka jalani.

Anak-anak tersebut dengan ”layak” hanya di dua alinea teratas. Alinea pertama: Selama seminggu belakangan, para siswa SD Patemon 01, Gunungpati, Semarang, seperti memperoleh semangat baru untuk berangkat ke sekolah. Aline kedua: Ada apakah gerangan? Tak lain, kehadiran lima mahasiswa asing dari berbagai negara, membuat para siswa sekolah ”kampung” itu bisa merasakan pengalaman bertemu dan bergaul dengan ”wong landa”.

Nah, bagaimana rasanya? Kita, pembaca, tidak akan pernah tahu karena tidak ada ”suara anak-anak” dalam berita ini. Bahkan di foto pun mereka tampak tidak sedang berinteraksi. Walhasil, judul yang amat menggoda itu justru ”melawan” pelajaran mengarang di sekolah dasar: judul mesti melambangkan isi. Maka jadilah judul begitu, isi begini.

17 Maret 2011

Judul Asal, Asal Wanita Jadi Judul


Budi Maryono
http://facebook.com/massakerah

Topik: Kriminal/Perempuan
Media: Warta Jateng
Judul: Wanita Terlibat Eksekusi Sadis
Hari/Tanggal: Jumat, 11 Maret 2011
Posisi: Hlm 1, kolom 3-5, tengah, non-headline

SEKILAS baca saja, judul berita ini sudah kelihatan bermasalah. Kata ”terlibat” biasa merujuk pada perilaku negatif. Penempatan subyek ”wanita” mengisyaratkan bahwa sangatlah ”istimewa” jika ada perempuan yang terlibat kejahatan semacam pencurian, pengedaran narkoba, atau pembunuhan. Padahal, bukankah perilaku negatif atau positif tak berhubungan dengan jenis kelamin? Dus, dalam berita ini, tak lebih tak kurang kata ”wanita” hanya menjadi penarik. Apalagi, sebagaimana tertulis dalam berita, ”pelaku” cuma dua: satu pria, satu wanita.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”eksekusi” berarti 1) pelaksanaan putusan hakim; pelaksanaan hukuman badan peradilan, khususnya hukuman mati; 2) penjualan harta orang karena berdasarkan penyitaan. Jadi, apa salahnya wanita terlibat sebuah eksekusi? Malah jadi ”penegak hukum” kan?
Judul berita ini kian bermasalah karena sama sekali tidak sesuai dengan isi. Parahnya, ketidaksesuaian itu langsung nampak dalam lead: Seorang pria berusia sekitar 25 tahun menjadi korban pembunuhan sadis. Mayat pria yang belum diketahui identitasnya itu dibuang di pinggir Jalan Raya Gunungpati-Ungaran, Semarang, Kamis (10/3) sekitar pukul 05.45. Mayat tersebut dibuang oleh seorang pria dan wanita muda yang mengendarai sepeda motor Honda Grand warna hitam.
Sampai alinea terakhir, jangankan fakta, kata ”eksekusi” pun tak ada. Yang ada, seperti terbaca di alinea pertama, pembunuhan. Itu pun dugaan berdasarkan luka-luka pada mayat korban. Siapa yang membunuh? Mestinya, jika ada kesesuain judul dan isi, ya ”wanita” itu. Nyatanya warga sekitar, saksi mata, polisi, dan wartawan belum tahu. Dalam alinea kelima tertulis: Sejumlah mata saksi (mestinya saksi mata-bmr) mengatakan, pembuang bungkusan adalah seorang laki-laki dan perempuan berusia muda...
Ya, wanita itu pembuang bungkusan (berisi mayat), bukan atau minimal belum tentu pembunuh, apalagi eksekutor. Lalu dari mana wartawan/media menemukan atau mengambil judul yang ”amat menarik” itu? Inilah contoh nyata judul yang asal banget. Bahkan asal ada wanita dalam sebuah kejadian langsung saja dijadikan judul. Beraaaaaattt!!!

Monolog Orang Dewasa


Budi Maryono
http://facebook.com/massakerah
Topik: Anak/Remaja
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul: Satpol PP Razia Anak Punk, Tekan Pengaruh Buruk
Hari/Tanggal: Rabu, 9 Maret 2011
Posisi: Hlm K, kolom 5-8, tengah/boks, non-headline
MESKI non-headline, berita tentang Satpol PP Kabupaten Rembang yang merazia anak jalanan bergaya punk ini tetap menonjol karena pengelola media meletakkannya dalam boks khusus, kanan (sisi tempat mata pembaca cenderung jatuh setiap kali membuka koran/majalah), plus foto dua kolom: aparat satpol PP sedang mencukur rambut anak punk. Sayang, penempatan yang baik itu tidak berbanding lurus dengan kualitas isi berita.
Fakta kejadian hanya ini: Satpol PP menggelar razia rutin dan menangkap seorang anak jalanan dari Pati di depan Hotel Kencana, Selasa (8/3). Alasannya? Ada di alinea keempat yang memuat keterangan Kepala Satpol PP Selamet Riyadi: Keberadaan anak jalanan yang berpakaian kumuh itu dinilai mengganggu kenyamanan dan pemandangan kota. ”Karena sudah mengganggu, kami tangkap dan beri pembinaan. Kami juga meminta dia untuk meneken surat pernyataan agar tak mengulangi perbuatannya. Setelah rambutnya dipotong dan disuruh mandi, mereka kami lepaskan....”
Di luar penangkapan dan ”pembinaan” itu? Tak ada apa-apa selain kutipan, baik langsung maupun tak langsung, keterangan Kepala Satpol PP Selamat Riyadi. Dari soal anak punk luar kota yang membawa pengaruh buruk bagi anak Rembang, sebab mereka berada di jalan (”punya masalah hidup dengan lingkungan dan keluarga”), keluhan warga Rembang yang takut anaknya terpengaruh ikut menjadi anak jalanan, sampai soal instruksi Bupati perihal ”membersihkan kota dari anak punk berpakaian kumuh”.
Apa kata anak punk yang tertangkap itu soal berbagai penghakiman dan stigma sepihak yang dialamatkan padanya? Bagaimana pula perasaannya ketika dicukur, disuruh mandi, diminta untuk meneken surat pernyataan oleh satpol PP? Benarkah dia anak jalanan? Benarkah dia punya masalah di rumah? Bakal ”kapok’-kah dia? Tak ada jawaban atau keterangan babar blas!
Berita ini, selain tak lebih dari iklan satpol PP, benar-benar telah menjadi monolog orang dewasa sekaligus membungkam hak anak untuk bicara tentang diri, pikiran, dan perasaan mereka. Kalau tak pandai-pandai mengelola, berita bisa ”jahat” juga!

07 Maret 2011

Pasif, Tak Jelas, Lepas Tanggung Jawab


Topik: Umum/Perempuan

Media: Suara Merdeka – Nasional

Judul: Tewas, Terjun Bebas dari Lantai Empat SGM

Hari/Tanggal: Kamis, 3 Maret 2011

Posisi: Hlm 12, kolom 5-8, tengah, headline

Budi Maryono

http://facebook.com/massakerah


DALAM workshop di Ruang Sidang Suara Merdeka, 25 Maret 2007, Anto Prabowo yang kini menjadi direktur Lembaga Studi Pers & Informasi menyatakan bahwa bahan baku karya jurnalistik adalah fakta. Makin jauh dari fakta, makin banyak kandungan praduga atau bahkan prasangka, berita akan menyerupai ”sampah” belaka. Hari-hari ini ”sampah” itu masih ada dan nampak karena kebiasaan wartawan/media menggunakan bentuk kata pasif seperti diduga, disebut, dinyatakan, dan dikabarkan tanpa subyek.

Mari kita baca berita berjudul ”Tewas, Terjun Bebas dari Lantai Empat SGM” dengan fakta kejadian: seorang perempuan terjun dari lantai empat Solo Grand Mall (SGM) dan meninggal. Pertanyaan standar yang muncul di benak kita saat membaca judul berita itu adalah ”siapa dia, berapa umurnya, tinggal di mana, kenapa melompat dari lantai empat”. Alih-alih memberikan jawaban, wartawan malah menyuguhkan keserbatakjelasan!

Lead: Perempuan muda berusia sekitar 20 hingga 21 tahun tewas mengenaskan. Dia terjun bebas dari lantai empat areal Solo Grand Mall (SGM), Rabu (2/3) petang. Jadi, berapa usia sebenarnya perempuan itu, 20 atau 21? Penggunaan kata ”sekitar” untuk rentang usia satu tahun, selain tak lazim, juga mengerutkan dahi pembaca. Usia perempuan itu 20 tahun 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 5 bulan.... 21 tahun 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 5 bulan...? Kalau memang terpaksa menggunakan kata ”sekitar”, bukankah cukup sekitar 20 tahun?

Mau lebih berkerut dahi? Baca alinea kedua: Kematian wanita muda yang disebut-sebut bernama Elisa Novita Sari, belum diketahui motifnya. Dia dinyatakan meninggal ketika dalam perjalanan menuju ke RS Kasih Ibu. Penggunaan kata ”disebut” saja sudah menunjukkan ketidakjelasan, apalagi ”disebut-sebut”. Sudah begitu, tanpa subyek (disebut oleh siapa). Benarkah perempuan itu bernama Elisa Novita Sari? Lha embuh!

Karena tanpa subyek, penggunaan kata (belum) ”diketahui” pada keterangan tentang motif dan ”dinyatakan” pada keterangan tentang meninggal, setali tiga uang, menyuguhkan ketidakjelasan. Tak jelas belum diketahui oleh siapa, tak jelas dinyatakan meninggal oleh siapa, sehingga tak jelas pula memang begitukah faktanya.

Pada alinea berikutnya, penggunaan bentuk kata pasif kian menjadi-jadi. Alinea ketiga: Selain para pengunjung SGM tidak ada yang mengenal, kedatangan perempuan naas bercelana jins biru dan sweater warna merah ke pusat perbelanjaan itu juga diyakini sendirian. Alinea keempat: Hingga semalam, belum ada keluarganya yang membesuk setelah perempuan yang dikabarkan tinggal di Bibis, Banjarsari, Solo itu divisum ke RSUD dr Moewardi, Solo. Alinea kelima: Berdasar informasi yang dihimpun di lokasi kejadian, korban dengan ciri rambut panjang sebahu itu juga disebut-sebut berasal dari Jakarta.

Lagi-lagi tak jelas, siapa yang meyakini perempuan itu sendirian? Dan bukankah sangat aneh, wartawan menulis ”fakta” perempuan itu datang ke mal sendirian hanya berdasarkan ”keyakinan”? Lalu, mestinya, wartawanlah yang mengabarkan kepada pembaca, di mana perempuan itu tinggal (berdasarkan KTP misalnya), bukan malah menulis ”dikabarkan tinggal di Bibis, Banjarsari...” Apalagi, kata dikabarkan itu dekat sekali dengan konon katanya alias desas-desus semata, tak beda jauh dari ”disebut-sebut” yang muncul lagi pada keterangan soal kota asal perempuan itu.

Dari lima alinea tersebut kelihatan, wartawan hadir di tempat kejadian setelah ”semuanya selesai”. Ia hanya bisa mengandalkan keterangan atau informasi dari orang lain seperti saksi mata, polisi, RS Kasih Ibu, RSUD dr Moewardi, dan manajemen SGM. Sayang, ia tak menggunakan dua cara penggalian fakta di luar observasi, yakni wawancara dan ”riset” data, secara maksimal. Hasilnya, ya itu tadi, ketidakjelasan.

Yang lebih parah, subyek di belakang bentuk kata pasif itu, kecuali kata ”dihimpun” pada alinea kelima, secara implisit tidak menunjuk pada wartawan atau media yang memuat berita tetapi orang atau pihak-pihak lain. Kalau ternyata berbagai informasi tersebut tidak benar atau minimal keliru, wartawan bisa lepas tanggung jawab: ”Kemarin di lokasi kejadian disebut-sebut, diketahui, dinyatakan, dikabarkan, diyakini begitu kok....” Oleh siapa? Lha embuh!

Perempuan Menderita dan Suami yang ”Hilang”


Topik: Anak/Perempuan
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro

Judul: Bayi Kelainan Butuh Bantuan, Terdapat Benjolan di Kepala

Hari/Tanggal: Selasa, 1 Maret 2011

Posisi: Hlm F, kolom 1-6, bawah/basis, non-headline

Budi Maryono

http://facebook.com/massakerah

SERING sudah saya membaca berita yang mengekpose perempuan menderita, terutama karena miskin hingga tak mampu mengupayakan pengobatan bagi diri atau anaknya yang sakit, dan menemukan keanehan ini: meski tersurat berstatus ibu/istri, perempuan tertampilkan sendiri alias ”tanpa suami”. Berita berjudul ”Bayi Kelainan Butuh Bantuan” adalah salah satu contoh.

Dalam berita tentang bayi penderita Meningo enshephalocele (sebagian otak dan selaputnya berada di luar kepala) yang tak bisa segera menjalani operasi karena tidak ada dana itu, pada alinea ketiga, wartawan memang menulis nama orang tua si bayi, Paryadi (26) dan Susilowati (18). Namun sampai akhir berita, cuma Susilowati yang bertutur tentang anak dan keterbatasan ekonominya, sedangkan Paryadi ”hilang entah ke mana”. Selain nama, tidak ada jejak walau hanya satu kata.

Baiklah, sebagaimana termaktub pada alinea kedua, wartawan menulis berdasarkan wawancara dengan Susilowati di RSUD R Soedjati Purwodadi. Ya, bisa jadi, Paryadi tak sedang bersama mereka saat wawancara. Mungkin bekerja atau dapat giliran jaga rumah. Tetapi tidak bisakah wartawan bertanya pada Susilowati, apa pekerjaan dan berapa penghasilan sang suami hingga mereka jatuh dalam keterbatasan ekonomi?

Lebih jauh lagi, tak bisakah wartawan menemui Paryadi di tempat kerja atau di rumah mereka di Glinggang, Desa Ngrandu, Kecamatan Geyer, Grobogan? Selain untuk mendapatkan keterangan dan data penguat, baik dari Paryadi maupun perangkat RT/RW/desa setempat, juga untuk mengamati lingkungan sosial-ekonomi keluarga yang bersangkutan. Apalagi, dari sisi bahan dan gaya penulisan, berita itu tak tergolong straight news. Artinya, wartawan mempunyai kesempatan untuk observasi dan media tak perlu buru-buru menurunkannya sebelum lengkap benar.

Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan gambaran utuh dari data dan fakta yang valid bahwa orang tua M Rikiadi Saputra, bayi yang sakit itu, benar-benar keluarga tidak mampu dan harus dibantu. Bukan sekadar rangkaian pernyataan ”kami tidak mampu, butuh bantuan, bantulah kami” yang justru mengesankan perempuan sebagai sosok yang ”harus maju” untuk menarik empati pembaca/orang lain.

Di luar perkara itu, wartawan juga ”lupa” mencantumkan berapa biaya operasi yang tak terjangkau oleh keluarga Paryadi dan Susilowati. Tak pula mencantumkan apa nama yayasan kesehatan sosial yang menurut keterangan dokter spesialis anak RSUD R Soedjati, dr Muhadjir SpA, sanggup membantu. Padahal, pencantuman dua hal tersebut tidak hanya harus sebagai pelengkap, namun juga penting untuk memastikan pelaksanaan kesanggupan hingga Susilowati tak perlu lagi berucap di ujung berita, ”..... Seandainya memang akan dioperasi dengan dibantu yayasan kesehatan sosial...”