14 Oktober 2009

Judulnya Menggoda, Isinya Mengecewakan


Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa-Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04/ RW 07 Semarang)
Topik : Anak (Wisata Pendidikan)
Nama Koran : Seputar Indonesia
Judul : Ungaran Barat Kembangkan Wisata Pendidikan
Belajar Menanam Padi di Lereng Gunung
Hari, tanggal : Senin, 12 Oktober 2009
Posisi : Halaman 12; kolom : 2-5; bagian bawah; Non-Headline

Tanggapan:
Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu pertanian dan pangan, saya demikkian mudah ”tergoda” untuk membaca berita dari Seputar Indonesia, berjudul ”Ungaran Barat Kembangkan Wisata Pendidikan: Belajar Menanam Padi di Lereng Gunung”. Apalagi di sebelah berita tersebut ada foto anak-anak pelajar (etnis tionghoa?) tengah menanam padi. Eksotik sekali. Ibarat kata iklan, ”Kesan pertama demikian menggoda....” Namun selanjutnya ... pembaca kecewa!
Mengapa demikian? Saya membayangkan, dengan judul dan foto demikian, pembaca akan diberi informasi mendalam tentang jenis wisata yang unik, yaitu aktivitas menanam padi, yang mungkin sangat menarik untuk para pelajar SD-SMP dan juga orang-orang kota yang ingin bergelut dengan lumpur. Apalagi jika ada kegiatan lainnya juga, yaitu membajak sawah dengan kerbau.
Saya bayangkan kegiatan seperti itu –menanam padi dan ”mengendarai kerbau”—akan menjadi aktivitas wisata yang unik sekali dan mengesankan bagi para pesertanya. Di Australia dan Selandia Baru, sebagai pembanding, para turis disuguhi aktivitas wisata (lokal) yang unik pada bulan-bulan tertentu, yaitu mencukur bulu domba. Menanam padi dan mengendalikan kerbau pastilah lebih eksotik dibanding sekadar jadi ”tukang cukur” bulu domba.
Kenyataannya? Berita yang bersumber dari Camat Ungaran Barat, Muhammad Risun, itu hanya menceritakan tentang rencana pengembangan wisata di wilayahnya, di mana wisata menanam padi hanya menjadi bagian kecil di antaranya. Dalam hal ini, media semata-mata jadi penerus pesan (baca: corong) aparat birokrasi di tingkat kecamatan.
Ternyata keterangan fotonya pun tidak jelas. Siapa atau pelajar dari SD mana anak-anak yang menanam padi itu, kapan kegiatan itu dilakukan, di mana dilakukan, dsb., tidak terungkap pada keterangan fotonya. Saya jadi curiga, jangan-jangan foto itu kegiatan pelajar di daratan China atau Taiwan yang di-download dari internet.
Pertanyaannya, apakah informasi maksimal yang diberikan media/ wartawan memang cukup hanya demikian, karena objek yang dinamakan ”wisata pendidikan” itu belum benar-benar terwujud?
Sebenarnya, jika mau, pendalaman lebih jauh bisa dilakukan. Khusus mengenai ”wisata pendidikan menanam padi” itu, umpamanya, pembaca perlu diberi informasi lebih jauh mengenai latar belakang pemikiran dari ide itu, calon lokasinya, bagaimana mengaksesnya, bilamana kegiatan itu dimulai, dsb.***

Pertanyaan Wartawan Jangan Bias Gender

Oleh Siti Munasifah (Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Wilayah Jawa Tengah)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Topik : Perempuan
Media : Jawa Pos
Judul Berita : Anggota DPR yang Dikejar Waktu Menyelesaikan RUU,
Rapat Sampai Malam, Berharap Bisa Mudik Lebaran
Hari/Tanggal : Rabu/16 September 2009
Posisi : Halaman 2, kolom 1-7 (bawah), non headline
Foto klik di sini
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Liputan ini tentang aktivitas dua anggota DPR RI periode 2004 -2009 yaitu seorang perempuan bernama Nursyahbani Katjasungkana (PKB) dan laki-laki bernama Arbab Paproeka (PAN). Keduanya sibuk mengikuti berbagai rapat untuk menuntaskan tumpukan rancangan undang–undang (RUU) yang ditargetkan selesai sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 1 Oktober 2009.
Mereka digambarkan bekerja secara total, dari pagi hingga larut malam, berpindah dari satu rapat ke rapat yang lain. Sama–sama menjalankan puasa, sama–sama punya komitmen untuk menyelesaikan tugas meskipun mereka tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR. Sama–sama mempunyai keluarga.
Hal yang menarik adalah pertanyaan dari wartawan tentang “ Bagaimana tanggapan keluarga terhadap aktivitas Nursyahbani?”. Pertanyaan yang di jawab klise oleh Nursyahbani : anak dan suami memahami kesibukannya, dia berupaya mengefektifkan waktu yang sangat sedikit bersama keluarga. Di antaranya waktu sahur dan berbuka, sedapat mungkin dilakukan bersama keluarga.
Bahkan untuk meyakinkan wartawan Nursyahbani mengatakan “Jangan salah saja, gini-gini saya lumayan pinter masak lho, dari masakan Madura sampai Perancis dan Italia”.
Dari ungkapan narasumber, dia sebagai aktivis perempuan terjebak pada pertanyaan wartawan, seolah-olah perempuan yang hebat adalah perempuan yang selain bisa berkarir juga tetap tidak melupakan “kodrat”nya sebagai istri dan ibu yang baik.
Tentu saja hal itu sangat bias gender. Seolah–olah tolok ukur keberhasilan seorang perempuan tetap tergantung pada peran dia di ranah domestik. Media turut kembali mengukuhkan budaya patriarkhi yang selama ini susah payah dilawan oleh perempuan.
Jika masyarakat kurang cermat, mereka akan beranggapan bahwa Nursyahbani layak dianggap perempuan yang hebat karena selain sebagai anggota DPR dia juga masih sebagai istri dan ibu yang baik, sehingga ini harga yang harus dia bayar supaya keluarga (anak dan suami) memahami kesibukannya. Masyarakat pembaca tentu akan menjadikan Nursyahbani sebagai public figure.
Berbeda jika seandainya dalam menjawab pertanyaan tentang tanggapan keluarga, misalnya Nursyahbani menyatakan keluarga keberatan karena aktivitasnya dan dia memang kebetulan tidak pandai memasak missalnya, tentu wartawan tidak akan menampilkannya sebagai public figure. Dia akan dianggap perempuan yang gagal dalam hal membina keluarga dan mendapatkan cap negative dari masyarakat.
Pertanyaan serupa tidak diajukan kepada tokoh laki–laki ( Arbab Paproeka), setidaknya tidak di tampilkan dalam liputan. Padahal sebagai seorang suami dan bapak, karena aktivitasnya sebagai anggota DPR juga terpaksa meningggalkan keluarga. Ini sangat bias gender. Seolah– olah jika laki –laki karena pekerjaannya memiliki waktu yang sedikit untuk anak dan istri, dianggap suatu hal yang wajar dan otomatis dimaklumi, tidak ada yang akan mempermasalahkan.
Meskipun sama–sama pulang larut malam, sama-sama sering berkegiatan di hotel, laki–laki tidak akan mendapatkan cap negative seperti perempuan. Hal inilah yang sebenarnya harus dikritisi. Media sebagai sumber informasi bagi masyarakat seharusnya bisa sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi. Artinya media mampu memberikan informasi sekaligus memberikan pengertian kepada masyarakat misalnya dengan tidak memberikan pertanyaan yang menjebak pada pandangan yang bias gender.
Salah satu contoh pertanyaan yang bias gender adalah menanyakan sikap keluarga terhadap pilihan perempuan untuk berperan di ranah public, sedangkan tidak dipertanyakan kepada laki –laki. Pertanyaan tersebut akan memancing jawaban yang bias gender pula bahkan dari seorang aktivis sekaliber Nursyahbani sekalipun. Dan jika tidak hati – hati bisa melanggengkan budaya patriarki yang selama ini dengan gigih dilawan oleh kaum perempuan
Hal lain yang perlu dikritisi dalam penulisan liputan ini adalah, penyebutan ”mantan aktivis perempuan” terhadap Nursyahbani. Sebutan ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa beliau sekarang bukan lagi seorang aktivis perempuan. Padahal selama ini Nursyahbani masih sangat vocal dalam isu–isu terutama yang berkaitan dengan perjuangan kaum perempuan. jadi sangat janggal menyebutnya mantan aktivis perempuan.
Aktivitasnya di gedung DPR RI yang tidak kalah dengan laki –laki adalah representasinya dalam berjuang untuk mengangkat peran perempuan dalam perjuangan memperoleh hak haknya yang selama ini belum dipenuhi secara maksimal. Jadi wartawan harus lebih hati–hati dan cermat dalam menulis suatu berita / liputan.***

Jawa Pos Punya Agenda Domestikasi Perempuan

Oleh Dewi Rostyaningsih (PPG/ PSW Universitas Diponegoro Semarang)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Topik : Perempuan
Media : Jawa Pos
Judul Berita : Anggota DPR yang Dikejar Waktu Menyelesaikan RUU,
Rapat Sampai Malam, Berharap Bisa Mudik Lebaran
Hari/Tanggal : Rabu/16 September 2009
Posisi : Halaman 2, kolom 1-7 (bawah), non headline
foto klik di sini
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan Jawa Pos itu menceritakan kehidupan perempuan anggota DPR (Nursyahbani Katjasungkana) yang harus bekerja lembur menyelesaikan beberapa RUU. Mari simak alenia 5 berita itu.
Selain terlibat pada sejumlah alat kelengkapan dewan, wakil ketua umum DPP PKB itu terlibat dalam pansus yang ditarget selesai pembahasannya sebelum masa akhir tugas. Selain Pansus Orang Hilang dan Pansus RUU PMI, dia masuk sebagai Pansus Tindak Pidana Korupsi. “Ini saat-saat terakhir. Saya tidak ingin merusak aura kinerja saya hanya karena tidak terpilih lag.”
Media (Jawa Pos) menggambarkan Nursyahbani sebagai “super-women” yang mampu menjalankan banyak tugas sebagai anggota DPR, tak ubahnya dengan anggota DPR laki-laki (yang jumlahnya mayoritas). Tapi simak alenia 6 yang saya kutip berikut:
Bagaimana keluarga? Nursyahbani menyatakan, secara klise, anak dan suami memahami kesibukannya... “Jangan salah saja, gini-gini saya lumayan pinter masak lho, dari masakan Madura sampai Prancis atau Italia,”...
Alenia ini sangat bias gender. Mengapa soal keluarga ditanyakan? Ini menunjukkan dalam frame wartawan Jawa Pos, soal mengurus anak dan memasak masih menjadi tanggung jawab perempuan sepenuhnya. Dengan demikian, sekalipun perempuan hebat dalam keterlibatannya di sektor publik, ia/ mereka tetap dituntut bertanggung jawab penuh di sektor domestik.
Sedangkan anggota DPR yang laki-laki tidak dituntut hal yang sama (pertanyaan tentang keluarga), sebagaimana yang tertulis di alenia 7 berikut:
Kesibukan juga dialami Ketua Panja RUU Tipikor Arbab Paproeka. Anggota Fraksi PAN ini harus rela sahur dan berbuka dari hotel ke hotel. Sebab ia harus segera menyelesaikan RUU Tipikor...
Adilkah? Tentu saja tidak! Seharusnya media pun berperan untuk turut mewujudkan kuota 30% bagi perempuan untuk menjadi anggota DPR, dengan menunjukkan kemampuan mereka untuk berkiprah di ranah politik (sektor publik), tanpa menarik kembali mereka untuk bertanggung jawab di sektor domestik.***

13 Oktober 2009

Konsistensi antara Masalah dan Solusi



Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04. RW 07 Semarang, dosen di Jurusan Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang)

Topik : Pangan
Nama Koran : Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul Berita Dua Kecamatan Terancam Rawan Pangan
* Warga Diminta Tanam Jagung
Hari, tanggal : Selasa, 18 Agustus 2009
Halaman : I; kolom : 5 - 6; posisi : tengah; Non Headline

Tanggapan:
Saya memang agak sensitif terhadap berita-berita yang menyangkut pangan, selain juga mengenai perempuan dan anak. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengupas kliping berita soal pangan. Berita kecil sebenarnya, karena oleh medianya (Suara Merdeka) berita ini dianggap tidak terlalu penting (bukan headline, di halaman dalam).
Berita ini tentang dua kecamatan di Kebumen, Kecamatan Karanggayam dan Padureso, yang selalu mengalami rawan pangan saat musim kemarau. Disebutkan di alenia pertama, ”Potensi rawan pangan kedua kecamatan yang berada di wilayah pengunungan itu karena minimnya akses”.
Tidak dijelaskan lebih jauh mengenai apa yang dimaksud dengan akses. Apakah yang dimaksudkan jalan ke kedua kecamatan itu sulit? Seberapa sulit? Tidak ada penggambarannya!
Saya, dan mungkin juga pembaca lain, agak dibuat bingung juga dengan informasi dari narasumber yang dikutip Suara Merdeka, Tri Wibowo (Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kebumen), ”Sebab daerah rawan pangan bukan semata-mata kekurangan makanan, melainkan disebabkan oleh beberapa indikator.”
Disebutkan ada 14 indikator rawan pangan, di antaranya ketersediaan pangan, jaringan listrik, ketersediaan air bersih, akses jalan, indeks kesehatan, angka kematian balita dan ibu, dan kehidupan warga yang bermatapencaharian petani.
Lalu, di bagian lain tulisan ini ada saran agar warga mengembangkan makanan di luar beras seperti umbi-umbian dan jagung. Dengan demikian, menurut saran itu, saat musim paceklik warga tidak tergantung pada beras.

Untuk Apa Berita Rawan Pangan?
Mungkin sebelum menilai berita itu, saya ingin ”ke belakang” sejenak untuk bertanya, untuk apa media menulis berita tentang rawan pangan? Logika common sense saya menjawab (maaf jika salah):
(1) untuk mengetahui seberapa dalam penderitaan mereka yang terkena rawan pangan itu, sekalipun hal tersebut baru sebatas potensi,
(2) untuk mengetahui langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasinya.
(3)mengetahui langkah-langkah yang bisa ditempuh lagi, oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah.
Akan halnya dua kecamatan Kebumen di atas, yang terkena masalah kerawanan pangan laten, pasti pembaca ingin mengetahui apa langkah-langkah yang sudah ditempuh oleh pemerintah? Jika penyebab utama masalahnya sudah diketahui –yakni akses yang sulit atau minim untuk sampai ke sana— tentu ingin diketahui juga seberapa besar upaya untuk mengatasi faktor penyebab kerawanan pangan itu.
Yang mengganggu saya, sebagai pembaca berita itu, adalah antara masalah, faktor penyebab, dan solusi, tidak ada sinkronisasi. Penyebabnya akses yang minim, kok solusinya saran untuk menanam jagung dan umbi-umbian. Tanpa saran itu, sesungguhnya warga desa punya mekanisme resistensi seperti itu. Di musim kering, ya pasti lahan yang tidak berpengairan ditanami palawija (jagung, kacang, ketela, dan sebagainya).
Mengapa wartawan tidak mengejar informasi yang berkaitan dengan penyebab utamanya? Misalnya, sejauh mana persoalan ”akses yang minim” itu telah diselesaikan? Atau sebelum itu, seberapa besar pengaruh akses yang minim itu terhadap kerawanan pangan?
Hal lain yang mengganggu saya (dan mungkin juga pembaca lain) adalah keterkaitan antara kerawanan pangan dan indikator kerawanannya. Ada beberapa yang patut dijelaskan. Misalnya, apa kaitan antara jaringan listrik dan kerawanan pangan? Apa kaitan antara kehidupan bermatapencaharian petani dengan kerawanan pangan?
Yang jelas, informasi-informasi yang tidak bisa dikaitkan secara harmonis satu dan lainnya ibarat mozaik-mozaik yang lepas dan semrawut. Media haruslah tidak membiarkan pembaca berspekulasi untuk mengait-ngaitkan sendiri informasi yang terlepas-lepas itu, karena tugas media adalah mencerdaskan publik lewat informasi yang utuh dan logis!***

KOMENTAR ATAS TANGGAPAN (Irene Iriawati, Lembaga Studi Pers dan Informasi –LeSPI):
Wah, ini komentarnya sepanjang atau lebih panjang dari beritanya. Tujuan jaringan untuk memantau media (media watch) ini memang untuk mengritisi dan mengapresiasi produk media secara bersama-sama. Pertama oleh LSM dan kelompok masyarakat yang kebetulan dikenal LeSPI. Lalu, selanjutnya lebih meluas.
Jika banyak pembaca media seperti Bu Retno, kritis untuk mengemukakan kebutuhan-kebutuhan informasi yang harus dipenuhi media, maka kemungkinan media juga akan terus menerus memperbaiki diri. Apalagi media watch ini bersifat terbuka. Warga masyarakat juga bisa mengaksesnya.
Menurut saya, inti terpenting dari hasil pemantauan Bu Retno ini adalah agar media tidak hanya memerankan diri sebagai penerus pesan dari aparat birokrasi (yang menangani bidang pangan), tapi juga mengolahnya secara kritis, sebelum sampai kepada pembaca.***

Soal Konsistensi dan Akurasi Istilah


Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04. RW 07 Semarang, dosen di Jurusan Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang)

Topik : Keamanan Pangan
Nama Koran : Suara Merdeka – Suara Pantura
Judul Berita Disita, 2.880 Susu Kaleng Kadaluwarsa
* Pemiliknya Tidak di Rumah
Hari, tanggal : Kamis, 1 Oktober 2009
Halaman : C; kolom : 1-5; posisi : atas; Headline


Tanggapan:
Berita ini menggambarkan prestasi kepolisian wilayah Pekalongan yang berhasil menyita 2.880 susu kaleng kadaluwarsa yang akan dijadikan bahan untuk pembuatan ”susu bantal” (susu cair?).
Masyarakat berterima kasih pada media yang memberitakan berita yang berkaitan dengan keamanan pangan dan keselamatan masyarakat, khususnya anak-anak. Lewat berita seperti itu, masyarakat menjadi lebih waspada. Dengan demikian, pers telah menjalankan fungsinya untuk memberikan peringatan dini (early warning) kepada publik.
Tetapi memang masih ada yang mengganjal setiap kali membaca berita yang ada kaitannya dengan kriminalitas dan pelanggaran hukum. Yaitu sumbernya tunggal, dari kepolisian. Narasumber penyeimbang, seperti tersangka atau keluarganya, konsumen dan penjual susu, tidak turut di dalam berita itu. Padahal mereka bisa memberikan banyak hal. Demikian juga satu pihak lagi yang penting, tidak diturut-sertakan, yaitu BPOM.
Selebihnya adalah soal konsistensi istilah yang digunakan dalam penulisan berita ini. Pada alenia kedua, misalnya, tertulis “Selain itu, polisi menyita dua frisher berisi ratusan sachet susu bantal yang dibuat dari barang sitaan tersebut.”
Tidak begitu jelas apakah yang dimaksud dengan frisher adalah lemari pendingin dalam kulkas (bhs Inggris: freezer)? Dan apakah kata frisher itu merupakan istilah Indonesia dari freezer? Jika demikian halnya, ada ketidakkonsistenan, karena pada kalimat yang sama ada kata sachet (bhs Inggris, berarti kemasan kecil). Saya lebih setuju kalau pakai istilah bahasa Indonesia berikut penjelasannya dalam bahasa Inggris, yaitu lemari pendingin (freezer) dan kemasan kecil (sachet). Terasa lebih konsisten.
Selain itu, istilah “susu bantal” pun perlu diberi penjelasan, karena tidak semua paham. Saya menduga istilah itu untuk menggambarkan susu cair yang dikemas dalam sachet, sehingga menggelembung menyerupai bantal.
Lalu, pada alenia kedua tadi, juga ada kalimat, “Berikutnya, barang bukti yang diamankan polisi adalah satu karung berisi kaleng susu, pewarna, dua mesin pres plastik, dan lain-lain”.
Dikaitkan dengan judulnya, muncul pertanyaan, yang disita kaleng susu atau susu kaleng? Jika yang disita adalah kaleng susu, berarti itu hanya kemasannya belaka, tanpa ada susunya. Tetapi jika yang disita adalah susu kaleng (yang jumlahnya 2.880 –menurut judul dan lead berita), muncul pertanyaan, apakah jumlah itu bisa tertampung dalam satu karung?***

PSK Vs Gigolo dalam Frame Radar Semarang



Oleh Siti Munasifah (Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Wilayah Jawa Tengah)

Topik (1) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos/ Radar Semarang
Judul Berita Penyakit Masyarakat:
Jajakan Diri, 7 PSK Ditangkap
Hari, tanggal : Selasa, 8 September 2009
Halaman : 13, non headline

Topik (2) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos – Radar Semarang
Judul Berita Polisi Garuk Belasan PSK
Hari, tanggal : Senin, 7 September 2009
Halaman : 5, non headline

Topik (3) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos – Radar Semarang
Judul Berita Cover Story: Menelusuri Komunitas Gigolo
Diminati Pendatang, Tak Cuma Layani Wanita Kesepian
Hari, tanggal : Senin, 7 September 2009
Halaman : I; headline


Tanggapan:
PEKERJA Seks Komersial (PSK) adalah sebutan untuk perempuan yang mencari penghasilan dengan menyediakan layanan seks untuk lelaki hidung belang. Sedangkan Gigolo adalah laki –laki yang menyediakan layanan seks untuk para perempuan kesepian. Dari segi profesi /pekerjaan mereka sama –sama menjual jasa layanan seks. Akan tetapi dalam sorotan Jawa Pos Radar Semarang (selanjutnya disingkat JP-RS), ada jurang perbedaan yang amat dalam. Media cenderung bersikap diskriminatif terhadap PSK.
Dalam berita pertama, ”Penyakit Masyarakat: Jajakan Diri, 7 PSK Ditangkap”, terlihat bahwa dari judulnya saja, JP-RS sudah bersikap diskriminatif dengan menggolongkan PSK dalam kolom “Penyakit Masyarakat”. Dengan pelabelan ini, JP-RS seolah mengamini pendapat bahwa PSK adalah salah satu penyakit masyarakat yang berbahaya dan layak untuk diberantas, terutama dalam masa bulan suci Ramadan dengan dalih menghormati orang yang berpuasa. Sehingga operasi atau razia yang dilakukan oleh polisi dianggap suatu hal yang wajar dan bermoral.Menurut hemat saya, media akan lebih netral jika berita ini digolongkan dalam kategori SOSIAL.
Masih dalam berita pertama redaksi, menggunakan kalimat “menjajakan diri”, seolah mereka dengan sengaja dan sadar melakukan pekerjaan itu, tanpa ada pembelaan sama sekali dari perempuan pekerja seks itu, mengapa mereka sampai melakukan hal tersebut.
Fakta mengungkapkan, kesulitan ekonomi –apalagi menjelang lebaran, saat mana beban hidup semakin tinggi—, keterbatasan pendidikan perempuan, tidak tersedianya lapangan kerja yang cukup, memaksa sebagian besar perempuan “terpaksa memilih” menjual satu –satunya yang mereka miliki yaitu tubuh.
Media tidak pernah menanyakan kepada mereka apa yang sesungguhnya mereka rasakan, sumber informasi hanya dari pihak aparat demi menjaga sesuatu yang dikatakan “ moralitas”. Media tidak menangkap sisi lain, bahwa PSK adalah korban bukan pelaku. Mereka adalah korban dari system budaya, social dan Negara yang memang sampai saat ini belum berpihak pada perempuan.
Corong Aparat
Pada berita yang kedua, ”Polisi Garuk Belasan PSK”, JP-RS mengawalinya dengan kalimat, ”meski bulan suci Ramadan, puluhan pekerja seks komersial (PSK) nekat beroperasi. Hal itu memaksa aparat gabungan Polres…”, kalimat ini menunjukkan seolah–olah aparat tidak akan melakukan razia jika di luar bulan Ramadan.
Lagi–lagi moral dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan diskriminatif dan sewenang –wenang terhadap kaum marjinal (PSK). Razia dilakukan di Lokalisasi Kebonsuwung yang merupakan tempat hiburan “esek –esek” terbesar di kota santri (Pekalongan). Hal ini agak janggal karena jika namanya lokalisasi, tentu tempat tersebut legal, tapi kok di razia, hanya untuk menghormati umat islam yang sedang berpuasa.
Padahal meskipun bulan puasa, mereka juga tetap butuh makan. Bahkan lebih berat karena menjelang lebaran pasti harga kebutuhan pokok dipastikan naik. Yang disayangkan lagi –lagi media ini tidak menampilkan berita dari dua sisi, mereka hanya menjadi corong aparat demi kata “moralitas” dan mengabaikan sisi keadilan sosial bagi PSK. Ya karena memang terlanjur mendapat label penyakit masyarakat, PSK cenderung dilecehkan, mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang, menjadi sasaran kekerasan dari berbagai pihak termasuk media.
Berbeda dengan berita ketiga, ”Menelusuri Komunitas Gigolo... ”, yang berkisah tentang kaum laki-laki penjaja layanan seksual, JP-RS dalam menampilkan sosok gigolo seolah–olah melupakan “moralitas”.
Laki –laki yang menjadi gigolo tidak dikategorikan sebagai penyakit masyarakat, sehingga keberadaanya tidak perlu diberantas, bahkan terkesan menjadi kaum eksklusif, meskipun mereka sama-sama mendapatkan uang dari menjual jasa layanan seks. Komunitas ini tidak pernah tersentuh oleh razia aparat, meskipun aparat sebenarnya mempunyai informasi tentang keberadaan mereka.
Dalam pilihan kata, media berlaku diskriminatif, jika PSK dikatakan “menjajakan diri”, untuk gigolo menggunakan kata “menjajakan cinta”. Lewat pilihan kata itu, seakan-akan posisi gigolo terasa lebih terhormat dibanding PSK.
Yang menarik menjadi gigolo telah diakui sebagai pilihan. Laki–laki yang berprofesi sebagai gigolo tidak pernah dituntut malu, bahkan cenderung bangga dengan profesinya. Karena mereka tidak beroperasi di jalan –jalan, tapi di hotel berbintang. Latar belakang mereka juga tidak dipermasalahkan. Faktanya mereka adalah laki –laki yang sebenarnya masih punya banyak pilihan karena tidak terkendala beban ekonomi, dan rata – rata berpendidikan.
Dari ketiga berita tersebut, nampak jelas sikap media yang tidak seimbang, cenderung mengamini pandangan masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan yang terpaksa menjadi PSK. Sebenarnya media bisa memilih menyajikan berita yang lebih adil, karena mereka pasti mempunyai kesempatan untuk menginterview PSK, sehingga diperoleh berita yang lebih berimbang.***

Wawasan Kurang Keras Melawan Kejahatan Seksual


Oleh : Anny Aisyah (Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM)
Topik : Anak (kasus perkosaan)
Nama Koran : Wawasan
Judul Berita : Cabuli Gadis Dibawah Umur, Berurusan dengan Polisi.
Hari, tanggal : Jum’at , 7 Agustus 2009
Halaman : 17, non-headline

Poin-poin Pengkritisan atas Berita:
1. Harian Wawasan tidak menganggap penting berita ini, karena diletakkan di halaman 17 dan posisinya non-headline.
2. Menurut saya, kata ”Cabuli” dalam judul ”Cabuli Gadis Dibawah Umur, Berurusan dengan Polisi” kurang kuat sebagai sebuah tindakan kriminal, karena seolah-olah korban dalam situasi yang pasif. Seharusnya kata ”Cabuli” itu diganti dengan ”Perkosa” untuk menegaskan kekejian pelaku, sehingga judulnya ”Perkosa Gadis Dibawah Umur, Berususan dengan Polisi”. Kita sebagai bagian dari masyarakat tentu harus bersikap tegas, dengan tidak menolelir tindakan kejahatan seksual, apalagi terhadap anak (perempuan) di bawah umur. Kami berharap media pun mendukungnya.
3. Ada kalimat yang menurut saya kurang tepat, yaitu ” Perbuatan bejat itu dilakukan di rumah korban”. Mengapa tidak tepat? Karena seolah-olah korban pun turut serta aktif dalam melakukan ”perbuatan bejat” itu. Menurut saya, lebih tepat kalau ”Tindak pidana itu dilakukan di rumah korban”, atau ”Perkosaan itu dilakukan di rumah korban”.
4. Pelaku mengatakan, “Semua itu saya lakukan ketika istri saya tak di rumah”. Pada kalimat yang dikutip itu, ada makna juga bahwa (sebagian) kesalahan ada pada sang istri dari pelaku. Kalau istrinya selalu berada di rumah, maka tidak akan ada tindak pidana perkosaan.
5. Lalu, lagi-lagi muncul kata ”menggagahi”, pada kalimat ”... tersangka kembali menggagahi korban hingga tiga malam berturut-turut”. Kata ”menggagahi” (kata dasarnya ”gagah”) sangatlah multi tafsir, dan tidak selayaknya menjadi diksi (kata) pilihan jurnalis. Kata ”memperkosa” lebih layak untuk menggantikannya, sekaligus menunjukkan betapa bejat perbuatan pelaku.

Komentar Atas Tanggapan (by Maksim D Prabowo – LeSPI):
Tanggapan atas berita (Wawasan) dari Sdri. Anny Aisyah (LRC-KJHAM) di atas sering mengemuka di banyak forum seminar, atau diskusi yang dihadiri para aktivis perempuan. Mereka tidak terima, perempuan yang menjadi korban (kekerasan/ perkosaan) juga menjadi korban dari pemilihan kata dan kalimat yang tidak tepat oleh media.
Sebenarnya tujuan pembentukan jejaring media watch ini adalah untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi yang mengemuka itu, sehingga terdokumentasi secara sistematis, sekaligus bisa menjadi bahan pelajaran bagi khalayak yang lebih luas.
Tapi di sisi lain, media watch ini juga menuntut tanggung jawab dari para pemantau media (watcher)-nya untuk lebih akurat dalam menilai berita mana saya yang bias, atau kalimat-kalimat mana saja yang bermasalah.
Bagaimanapun, provisiat untuk usaha kerasnya mengomentari media. ***

Judul Berita “Radar Semarang” Menjebak.


Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04. RW 07 Semarang, dosen di Jurusan Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang)

Topik

: Anak

Nama Koran

: Radar Semarang

Judul

Melongok SMK Miftahul Ulum yang Hampir Semua Siswanya Keluaga Miskin: Siswa Makan Kangkung, Guru Rela Tak Digaji

Hari, tanggal

: Minggu, 2 Agustus 2009

Halaman

: I; kolom : 1 - 4; posisi : bawah; Non Headline

Tanggapan :

Membaca judul berita “Siswa Makan Kangkung, Guru Rela Tak Digaji”, seakan-akan ada hubungan sebab akibat antara dua frasa kalimat itu, yakni “jika siswa makan kangkung”, maka “guru rela tak digaji”. Ternyata tidak demikian halnya ketika kita membaca keseluruhan isi berita itu.

Berita itu menceritakan kondisi sebuah sekolah bernama SMK Miftahul Ulum Jogoloyo, di wilayah Kabupaten Demak, yang sangat bersahaja. Hampir semua dari 210 siswanya berasal dari keluarga miskin, sehingga mereka pun hanya mampu membayar iuran sekolah per bulannya Rp 45 -50 ribu. Seluruh siswa di sekolah itu adalah santri Pondok Pesantren Miftahul Ulum, yang sebagian hidup di pesantren tersebut dengan biaya mondok Rp 120.000 per bulan.

Baru setelah membaca keseluruhan isi berita, pembaca menjadi tahu, bahwa hubungan antara dua kalimat di dalam judul itu bukan “jika”-“maka”, melainkan “dan”. Dengan demikian, judul yang lebih tepat kurang lebih demikian:

SMK Miftahul Ulum

Siswa (nya) Makan Kangkung dan Guru (nya) Rela Tak Digaji

Memang judul alternatif di atas itu terlalu gamblang, kurang membuat penasaran dan mungkin tidak disukai oleh teman-teman dari media. Sehingga media (Radar Semarang) memilih judul yang membuat pembaca (= saya) terjebak ketika memaknainya.

Terlepas dari mana judul yang ”baik”, ”benar”, ataupun ”enak dibaca”, saya punya ganjalan dengan dua kalimat yang dipakai dalam judul itu.
Pertama, pemakaian kata ”kangkung” sebagai metafora untuk menggambarkan kemiskinan dan kekurangan, agaknya patut dikoreksi lagi. Saat ini kangkung jenis sayuran yang banyak dicari dan dikonsumsi oleh semua kalangan, tak terkecuali kalangan atas, karena kaya akan kandungan pro-vitamin A (5.542 mcg/ 100 gram), serat (2g/ 100 g), zat besi (2,3 mg/100 g), dan vitamin C (17 mg/ 100 g). Di beberapa warung pecel terkenal di kota Semarang (misalnya Pecel Bu Sri Pekunden, Warung Rujak Cingur Jl Imam Bonjol), kangkung menjadi menu andalan.

Kedua, kalimat ”Guru Rela Tak Digaji” tampak sangat heroik. Penjelasan itu datang dari Wakil Kepala Sekolah SMK, Uzair Mashuri. Tentu banyak pembaca yang penasaran dan mungkin juga tak percaya. Ibarat kata iklan, ”hari geenee masih ada nyang gratisan”.

Sayang memang, tidak ada penjelasan dari para gurunya, seberapa besar penghasilan yang mereka peroleh. Kalau tidak digaji oleh SMK ataupun negara, lha lalu bagaimana mereka menafkahi keluarga? Bagaimana juga mereka meng-update pengetahuan dan keterampilannya untuk memberi pelayanan yang terbaik bagi para siswanya?

Dengan demikian, agar tidak memberi kesan bahwa judul itu berlebihan, menjadi tugas bagi Radar Semarang untuk menggali informasi lebih akurat ketika membuat tulisan-tulisan sejenis seperti di atas.

Komentar IRENE IRIAWATI (LeSPI):

Pengamatan Ibu Christiana Retnaningsih, Ketua Dasa Wisma Kelengkeng, RT 04 RW 07 Kampung Tengger Semarang cukup komperehensif, menyangkut aspek logika bahasa, kandungan gizi, hingga perlunya informasi tambahan hingga tulisan Radar Semarang itu tidak berkesan mengada-ada.

Memang, Bu Retna, tantangan dari pihak media adalah menghadirkan judul yang eye chatching alias menarik perhatian pembaca agar tulisan itu dibaca. Tetapi yang terpenting adalah judul itu benar. Maka, kritik Ibu sangat membantu.

Lalu, mengenai kangkung yang tidak bisa lagi dijadikan sebagai simbol kemiskinan, menarik sekali argumentasi yang dikemukakan. Ya, inilah untungnya kalau Ketua Dasa Wisma (unit yang lebih kecil dari PKK) punya background ilmu gizi, karena profesi sebagai dosen bidang teknologi pangan. Pertanyaannya, apakah ibu punya usul mengenai metafora kemiskinan yang lebih aktual untuk saat ini? Jika ada, mungkin teman-teman media sangat berterima kasih.

Terakhir, soal ”Guru Rela Tak Digaji” yang berkesan berlebihan karena informasi itu hanya datang dari Wakil Kepala Sekolah, saya sepenuhnya setuju. Memang dibutuhkan info tambahan mengenai ”heroisme guru” itu, baik dari pihak guru-guru bersangkutan (mengenai penghasilan mereka) ataupun dari para siswa (mengenai performace guru ketika melayani para siswanya). Di dalam jurnalistik, ini yang dinamakan cover both side (peliputan dari banyak sisi), yang tujuannya adalah untuk menjaga bahwa informasi yang diberikan ke publik benar-benar akurat, sesuai fakta.

Terlepas dari itu semua, saya pribadi menaruh apresiasi atas liputan Radar Semarang, untuk menghadirkan profile sekolah yang punya daya juang, di tengah keterbatasan yang dimilikinya. ***