21 April 2011

Mestinya, Tidak Sama...


Budi Maryono
http://ikibukuku.blogspot.com

Topik: Keluarga/Perceraian
Media: Jawa Pos– Radar Semarang
Judul: 80 Persen Pemicunya Selingkuh
Hari/Tanggal: Senin, 11 April 2011
Posisi: Hlm 1, kolom 3-5, bawah, non-headline

Topik: Keluarga/Perceraian
Media: Harian Semarang
Judul: Perselingkuhan Biang Perceraian di Semarang
Hari/Tanggal: Senin, 11 April 2011
Posisi: Hlm 10, kolom 3-7, bawah, non-headline

DALAM dunia (kerja) jurnalistik, fakta memang terbagi dalam dua kategori: fakta kejadian dan fakta pendapat. Dua-duanya bisa tampil bersama namun bisa juga tampil sendiri-sendiri. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan, sebuah berita lahir berdasarkan isu yang sedang berkembang di masyarakat dan hanya berisi pendapat narasumber. Biasanya, berita semacam itu menjadi pendukung ”berita utama” yang berdasarkan fakta kejadian. Nah, berita di dua koran ini termasuk dalam berita yang berisi fakta pendapat namun bukan berita pendukung, sekaligus bisa jadi contoh berita model ”serupa tapi tak sama”.

Judul berbeda tetapi isinya sama, yakni soal angka dan penyebab perceraian di Semarang: 80 persen karena perselingkuhan. Semula saya mengira berita itu berdasarkan paparan dalam sebuah diskusi atau seminar. Ternyata, sebagaimana yang bisa kita baca dalam berita, bukan. Di alinea pertama, wartawan Radar Semarang menulis: .... Fakta itu diungkapkan oleh Juru Bicara Pengadilan Agama (PA) Semarang, Drs Wahyudi SH, Msi. Tak ada penjelasan di mana dan kapan, apalagi kenapa, Wahyudi mengungkapkan fakta tersebut.

Sedangkan wartawan Harian Semarang menulis di alinea kedua: Humas PA Semarang Wahyudi mengatakan, selain perselingkuhan, faktor ekonomi juga menjadi biang perceraian. ”Paling banyak karena perselingkuhan. Jumlahnya sekitar 80%,” katanya, saat dihubungi, kemarin. Artinya, wartawan aktif menghubungi Wahyudi. Jelas kapan, yakni kemarin, tapi entah di mana atau lewat apa.

Yang aneh, meski termuat di koran berbeda dan mestinya ”bersaing”, kesamaan berita itu tak hanya menyangkut isi namun juga alur. Kalimat dan kutipan memang (agak) berbeda tetapi narasumber dan ”letak” mereka di dalam berita sama persis. Yang pertama Wahyudi (humas PA Semarang), kemudian Akhwan Fanani (Walisongo Mediation Center), lalu Hastaning Sakti (psikolog Undip).

Kalau bukan berdasarkan fakta kejadian semacam diskusi atau seminar, bagaimana mungkin wartawan dari media yang berbeda bisa menulis berita dengan narasumber dan alur yang sama? Apakah mereka merancang berita itu bersama-sama? Jika memang fakta dan pendapat itu muncul dalam sebuah peristiwa, mengapa wartawan ”enggan” menulis dengan jelas peristiwa apa, kapan, dan di mana tepatnya? Di luar itu, bahkan dari peristiwa yang sama, wartawan tentu memiliki sudut pandang atau minimal cara menyusun berita yang tidak sama. Mestinya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)