07 Maret 2011

Perempuan Menderita dan Suami yang ”Hilang”


Topik: Anak/Perempuan
Media: Suara Merdeka – Semarang Metro

Judul: Bayi Kelainan Butuh Bantuan, Terdapat Benjolan di Kepala

Hari/Tanggal: Selasa, 1 Maret 2011

Posisi: Hlm F, kolom 1-6, bawah/basis, non-headline

Budi Maryono

http://facebook.com/massakerah

SERING sudah saya membaca berita yang mengekpose perempuan menderita, terutama karena miskin hingga tak mampu mengupayakan pengobatan bagi diri atau anaknya yang sakit, dan menemukan keanehan ini: meski tersurat berstatus ibu/istri, perempuan tertampilkan sendiri alias ”tanpa suami”. Berita berjudul ”Bayi Kelainan Butuh Bantuan” adalah salah satu contoh.

Dalam berita tentang bayi penderita Meningo enshephalocele (sebagian otak dan selaputnya berada di luar kepala) yang tak bisa segera menjalani operasi karena tidak ada dana itu, pada alinea ketiga, wartawan memang menulis nama orang tua si bayi, Paryadi (26) dan Susilowati (18). Namun sampai akhir berita, cuma Susilowati yang bertutur tentang anak dan keterbatasan ekonominya, sedangkan Paryadi ”hilang entah ke mana”. Selain nama, tidak ada jejak walau hanya satu kata.

Baiklah, sebagaimana termaktub pada alinea kedua, wartawan menulis berdasarkan wawancara dengan Susilowati di RSUD R Soedjati Purwodadi. Ya, bisa jadi, Paryadi tak sedang bersama mereka saat wawancara. Mungkin bekerja atau dapat giliran jaga rumah. Tetapi tidak bisakah wartawan bertanya pada Susilowati, apa pekerjaan dan berapa penghasilan sang suami hingga mereka jatuh dalam keterbatasan ekonomi?

Lebih jauh lagi, tak bisakah wartawan menemui Paryadi di tempat kerja atau di rumah mereka di Glinggang, Desa Ngrandu, Kecamatan Geyer, Grobogan? Selain untuk mendapatkan keterangan dan data penguat, baik dari Paryadi maupun perangkat RT/RW/desa setempat, juga untuk mengamati lingkungan sosial-ekonomi keluarga yang bersangkutan. Apalagi, dari sisi bahan dan gaya penulisan, berita itu tak tergolong straight news. Artinya, wartawan mempunyai kesempatan untuk observasi dan media tak perlu buru-buru menurunkannya sebelum lengkap benar.

Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan gambaran utuh dari data dan fakta yang valid bahwa orang tua M Rikiadi Saputra, bayi yang sakit itu, benar-benar keluarga tidak mampu dan harus dibantu. Bukan sekadar rangkaian pernyataan ”kami tidak mampu, butuh bantuan, bantulah kami” yang justru mengesankan perempuan sebagai sosok yang ”harus maju” untuk menarik empati pembaca/orang lain.

Di luar perkara itu, wartawan juga ”lupa” mencantumkan berapa biaya operasi yang tak terjangkau oleh keluarga Paryadi dan Susilowati. Tak pula mencantumkan apa nama yayasan kesehatan sosial yang menurut keterangan dokter spesialis anak RSUD R Soedjati, dr Muhadjir SpA, sanggup membantu. Padahal, pencantuman dua hal tersebut tidak hanya harus sebagai pelengkap, namun juga penting untuk memastikan pelaksanaan kesanggupan hingga Susilowati tak perlu lagi berucap di ujung berita, ”..... Seandainya memang akan dioperasi dengan dibantu yayasan kesehatan sosial...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)