13 Oktober 2009

Konsistensi antara Masalah dan Solusi



Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04. RW 07 Semarang, dosen di Jurusan Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang)

Topik : Pangan
Nama Koran : Suara Merdeka – Semarang Metro
Judul Berita Dua Kecamatan Terancam Rawan Pangan
* Warga Diminta Tanam Jagung
Hari, tanggal : Selasa, 18 Agustus 2009
Halaman : I; kolom : 5 - 6; posisi : tengah; Non Headline

Tanggapan:
Saya memang agak sensitif terhadap berita-berita yang menyangkut pangan, selain juga mengenai perempuan dan anak. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengupas kliping berita soal pangan. Berita kecil sebenarnya, karena oleh medianya (Suara Merdeka) berita ini dianggap tidak terlalu penting (bukan headline, di halaman dalam).
Berita ini tentang dua kecamatan di Kebumen, Kecamatan Karanggayam dan Padureso, yang selalu mengalami rawan pangan saat musim kemarau. Disebutkan di alenia pertama, ”Potensi rawan pangan kedua kecamatan yang berada di wilayah pengunungan itu karena minimnya akses”.
Tidak dijelaskan lebih jauh mengenai apa yang dimaksud dengan akses. Apakah yang dimaksudkan jalan ke kedua kecamatan itu sulit? Seberapa sulit? Tidak ada penggambarannya!
Saya, dan mungkin juga pembaca lain, agak dibuat bingung juga dengan informasi dari narasumber yang dikutip Suara Merdeka, Tri Wibowo (Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kebumen), ”Sebab daerah rawan pangan bukan semata-mata kekurangan makanan, melainkan disebabkan oleh beberapa indikator.”
Disebutkan ada 14 indikator rawan pangan, di antaranya ketersediaan pangan, jaringan listrik, ketersediaan air bersih, akses jalan, indeks kesehatan, angka kematian balita dan ibu, dan kehidupan warga yang bermatapencaharian petani.
Lalu, di bagian lain tulisan ini ada saran agar warga mengembangkan makanan di luar beras seperti umbi-umbian dan jagung. Dengan demikian, menurut saran itu, saat musim paceklik warga tidak tergantung pada beras.

Untuk Apa Berita Rawan Pangan?
Mungkin sebelum menilai berita itu, saya ingin ”ke belakang” sejenak untuk bertanya, untuk apa media menulis berita tentang rawan pangan? Logika common sense saya menjawab (maaf jika salah):
(1) untuk mengetahui seberapa dalam penderitaan mereka yang terkena rawan pangan itu, sekalipun hal tersebut baru sebatas potensi,
(2) untuk mengetahui langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasinya.
(3)mengetahui langkah-langkah yang bisa ditempuh lagi, oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah.
Akan halnya dua kecamatan Kebumen di atas, yang terkena masalah kerawanan pangan laten, pasti pembaca ingin mengetahui apa langkah-langkah yang sudah ditempuh oleh pemerintah? Jika penyebab utama masalahnya sudah diketahui –yakni akses yang sulit atau minim untuk sampai ke sana— tentu ingin diketahui juga seberapa besar upaya untuk mengatasi faktor penyebab kerawanan pangan itu.
Yang mengganggu saya, sebagai pembaca berita itu, adalah antara masalah, faktor penyebab, dan solusi, tidak ada sinkronisasi. Penyebabnya akses yang minim, kok solusinya saran untuk menanam jagung dan umbi-umbian. Tanpa saran itu, sesungguhnya warga desa punya mekanisme resistensi seperti itu. Di musim kering, ya pasti lahan yang tidak berpengairan ditanami palawija (jagung, kacang, ketela, dan sebagainya).
Mengapa wartawan tidak mengejar informasi yang berkaitan dengan penyebab utamanya? Misalnya, sejauh mana persoalan ”akses yang minim” itu telah diselesaikan? Atau sebelum itu, seberapa besar pengaruh akses yang minim itu terhadap kerawanan pangan?
Hal lain yang mengganggu saya (dan mungkin juga pembaca lain) adalah keterkaitan antara kerawanan pangan dan indikator kerawanannya. Ada beberapa yang patut dijelaskan. Misalnya, apa kaitan antara jaringan listrik dan kerawanan pangan? Apa kaitan antara kehidupan bermatapencaharian petani dengan kerawanan pangan?
Yang jelas, informasi-informasi yang tidak bisa dikaitkan secara harmonis satu dan lainnya ibarat mozaik-mozaik yang lepas dan semrawut. Media haruslah tidak membiarkan pembaca berspekulasi untuk mengait-ngaitkan sendiri informasi yang terlepas-lepas itu, karena tugas media adalah mencerdaskan publik lewat informasi yang utuh dan logis!***

KOMENTAR ATAS TANGGAPAN (Irene Iriawati, Lembaga Studi Pers dan Informasi –LeSPI):
Wah, ini komentarnya sepanjang atau lebih panjang dari beritanya. Tujuan jaringan untuk memantau media (media watch) ini memang untuk mengritisi dan mengapresiasi produk media secara bersama-sama. Pertama oleh LSM dan kelompok masyarakat yang kebetulan dikenal LeSPI. Lalu, selanjutnya lebih meluas.
Jika banyak pembaca media seperti Bu Retno, kritis untuk mengemukakan kebutuhan-kebutuhan informasi yang harus dipenuhi media, maka kemungkinan media juga akan terus menerus memperbaiki diri. Apalagi media watch ini bersifat terbuka. Warga masyarakat juga bisa mengaksesnya.
Menurut saya, inti terpenting dari hasil pemantauan Bu Retno ini adalah agar media tidak hanya memerankan diri sebagai penerus pesan dari aparat birokrasi (yang menangani bidang pangan), tapi juga mengolahnya secara kritis, sebelum sampai kepada pembaca.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)