13 Oktober 2009

PSK Vs Gigolo dalam Frame Radar Semarang



Oleh Siti Munasifah (Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Wilayah Jawa Tengah)

Topik (1) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos/ Radar Semarang
Judul Berita Penyakit Masyarakat:
Jajakan Diri, 7 PSK Ditangkap
Hari, tanggal : Selasa, 8 September 2009
Halaman : 13, non headline

Topik (2) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos – Radar Semarang
Judul Berita Polisi Garuk Belasan PSK
Hari, tanggal : Senin, 7 September 2009
Halaman : 5, non headline

Topik (3) : Sosial
Nama Koran : Jawa Pos – Radar Semarang
Judul Berita Cover Story: Menelusuri Komunitas Gigolo
Diminati Pendatang, Tak Cuma Layani Wanita Kesepian
Hari, tanggal : Senin, 7 September 2009
Halaman : I; headline


Tanggapan:
PEKERJA Seks Komersial (PSK) adalah sebutan untuk perempuan yang mencari penghasilan dengan menyediakan layanan seks untuk lelaki hidung belang. Sedangkan Gigolo adalah laki –laki yang menyediakan layanan seks untuk para perempuan kesepian. Dari segi profesi /pekerjaan mereka sama –sama menjual jasa layanan seks. Akan tetapi dalam sorotan Jawa Pos Radar Semarang (selanjutnya disingkat JP-RS), ada jurang perbedaan yang amat dalam. Media cenderung bersikap diskriminatif terhadap PSK.
Dalam berita pertama, ”Penyakit Masyarakat: Jajakan Diri, 7 PSK Ditangkap”, terlihat bahwa dari judulnya saja, JP-RS sudah bersikap diskriminatif dengan menggolongkan PSK dalam kolom “Penyakit Masyarakat”. Dengan pelabelan ini, JP-RS seolah mengamini pendapat bahwa PSK adalah salah satu penyakit masyarakat yang berbahaya dan layak untuk diberantas, terutama dalam masa bulan suci Ramadan dengan dalih menghormati orang yang berpuasa. Sehingga operasi atau razia yang dilakukan oleh polisi dianggap suatu hal yang wajar dan bermoral.Menurut hemat saya, media akan lebih netral jika berita ini digolongkan dalam kategori SOSIAL.
Masih dalam berita pertama redaksi, menggunakan kalimat “menjajakan diri”, seolah mereka dengan sengaja dan sadar melakukan pekerjaan itu, tanpa ada pembelaan sama sekali dari perempuan pekerja seks itu, mengapa mereka sampai melakukan hal tersebut.
Fakta mengungkapkan, kesulitan ekonomi –apalagi menjelang lebaran, saat mana beban hidup semakin tinggi—, keterbatasan pendidikan perempuan, tidak tersedianya lapangan kerja yang cukup, memaksa sebagian besar perempuan “terpaksa memilih” menjual satu –satunya yang mereka miliki yaitu tubuh.
Media tidak pernah menanyakan kepada mereka apa yang sesungguhnya mereka rasakan, sumber informasi hanya dari pihak aparat demi menjaga sesuatu yang dikatakan “ moralitas”. Media tidak menangkap sisi lain, bahwa PSK adalah korban bukan pelaku. Mereka adalah korban dari system budaya, social dan Negara yang memang sampai saat ini belum berpihak pada perempuan.
Corong Aparat
Pada berita yang kedua, ”Polisi Garuk Belasan PSK”, JP-RS mengawalinya dengan kalimat, ”meski bulan suci Ramadan, puluhan pekerja seks komersial (PSK) nekat beroperasi. Hal itu memaksa aparat gabungan Polres…”, kalimat ini menunjukkan seolah–olah aparat tidak akan melakukan razia jika di luar bulan Ramadan.
Lagi–lagi moral dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan diskriminatif dan sewenang –wenang terhadap kaum marjinal (PSK). Razia dilakukan di Lokalisasi Kebonsuwung yang merupakan tempat hiburan “esek –esek” terbesar di kota santri (Pekalongan). Hal ini agak janggal karena jika namanya lokalisasi, tentu tempat tersebut legal, tapi kok di razia, hanya untuk menghormati umat islam yang sedang berpuasa.
Padahal meskipun bulan puasa, mereka juga tetap butuh makan. Bahkan lebih berat karena menjelang lebaran pasti harga kebutuhan pokok dipastikan naik. Yang disayangkan lagi –lagi media ini tidak menampilkan berita dari dua sisi, mereka hanya menjadi corong aparat demi kata “moralitas” dan mengabaikan sisi keadilan sosial bagi PSK. Ya karena memang terlanjur mendapat label penyakit masyarakat, PSK cenderung dilecehkan, mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang, menjadi sasaran kekerasan dari berbagai pihak termasuk media.
Berbeda dengan berita ketiga, ”Menelusuri Komunitas Gigolo... ”, yang berkisah tentang kaum laki-laki penjaja layanan seksual, JP-RS dalam menampilkan sosok gigolo seolah–olah melupakan “moralitas”.
Laki –laki yang menjadi gigolo tidak dikategorikan sebagai penyakit masyarakat, sehingga keberadaanya tidak perlu diberantas, bahkan terkesan menjadi kaum eksklusif, meskipun mereka sama-sama mendapatkan uang dari menjual jasa layanan seks. Komunitas ini tidak pernah tersentuh oleh razia aparat, meskipun aparat sebenarnya mempunyai informasi tentang keberadaan mereka.
Dalam pilihan kata, media berlaku diskriminatif, jika PSK dikatakan “menjajakan diri”, untuk gigolo menggunakan kata “menjajakan cinta”. Lewat pilihan kata itu, seakan-akan posisi gigolo terasa lebih terhormat dibanding PSK.
Yang menarik menjadi gigolo telah diakui sebagai pilihan. Laki–laki yang berprofesi sebagai gigolo tidak pernah dituntut malu, bahkan cenderung bangga dengan profesinya. Karena mereka tidak beroperasi di jalan –jalan, tapi di hotel berbintang. Latar belakang mereka juga tidak dipermasalahkan. Faktanya mereka adalah laki –laki yang sebenarnya masih punya banyak pilihan karena tidak terkendala beban ekonomi, dan rata – rata berpendidikan.
Dari ketiga berita tersebut, nampak jelas sikap media yang tidak seimbang, cenderung mengamini pandangan masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan yang terpaksa menjadi PSK. Sebenarnya media bisa memilih menyajikan berita yang lebih adil, karena mereka pasti mempunyai kesempatan untuk menginterview PSK, sehingga diperoleh berita yang lebih berimbang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)