13 Oktober 2009

Judul Berita “Radar Semarang” Menjebak.


Oleh Christiana Retnaningsih (Ketua Dasa Wisma Klengkeng, Kampung Tengger RT 04. RW 07 Semarang, dosen di Jurusan Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang)

Topik

: Anak

Nama Koran

: Radar Semarang

Judul

Melongok SMK Miftahul Ulum yang Hampir Semua Siswanya Keluaga Miskin: Siswa Makan Kangkung, Guru Rela Tak Digaji

Hari, tanggal

: Minggu, 2 Agustus 2009

Halaman

: I; kolom : 1 - 4; posisi : bawah; Non Headline

Tanggapan :

Membaca judul berita “Siswa Makan Kangkung, Guru Rela Tak Digaji”, seakan-akan ada hubungan sebab akibat antara dua frasa kalimat itu, yakni “jika siswa makan kangkung”, maka “guru rela tak digaji”. Ternyata tidak demikian halnya ketika kita membaca keseluruhan isi berita itu.

Berita itu menceritakan kondisi sebuah sekolah bernama SMK Miftahul Ulum Jogoloyo, di wilayah Kabupaten Demak, yang sangat bersahaja. Hampir semua dari 210 siswanya berasal dari keluarga miskin, sehingga mereka pun hanya mampu membayar iuran sekolah per bulannya Rp 45 -50 ribu. Seluruh siswa di sekolah itu adalah santri Pondok Pesantren Miftahul Ulum, yang sebagian hidup di pesantren tersebut dengan biaya mondok Rp 120.000 per bulan.

Baru setelah membaca keseluruhan isi berita, pembaca menjadi tahu, bahwa hubungan antara dua kalimat di dalam judul itu bukan “jika”-“maka”, melainkan “dan”. Dengan demikian, judul yang lebih tepat kurang lebih demikian:

SMK Miftahul Ulum

Siswa (nya) Makan Kangkung dan Guru (nya) Rela Tak Digaji

Memang judul alternatif di atas itu terlalu gamblang, kurang membuat penasaran dan mungkin tidak disukai oleh teman-teman dari media. Sehingga media (Radar Semarang) memilih judul yang membuat pembaca (= saya) terjebak ketika memaknainya.

Terlepas dari mana judul yang ”baik”, ”benar”, ataupun ”enak dibaca”, saya punya ganjalan dengan dua kalimat yang dipakai dalam judul itu.
Pertama, pemakaian kata ”kangkung” sebagai metafora untuk menggambarkan kemiskinan dan kekurangan, agaknya patut dikoreksi lagi. Saat ini kangkung jenis sayuran yang banyak dicari dan dikonsumsi oleh semua kalangan, tak terkecuali kalangan atas, karena kaya akan kandungan pro-vitamin A (5.542 mcg/ 100 gram), serat (2g/ 100 g), zat besi (2,3 mg/100 g), dan vitamin C (17 mg/ 100 g). Di beberapa warung pecel terkenal di kota Semarang (misalnya Pecel Bu Sri Pekunden, Warung Rujak Cingur Jl Imam Bonjol), kangkung menjadi menu andalan.

Kedua, kalimat ”Guru Rela Tak Digaji” tampak sangat heroik. Penjelasan itu datang dari Wakil Kepala Sekolah SMK, Uzair Mashuri. Tentu banyak pembaca yang penasaran dan mungkin juga tak percaya. Ibarat kata iklan, ”hari geenee masih ada nyang gratisan”.

Sayang memang, tidak ada penjelasan dari para gurunya, seberapa besar penghasilan yang mereka peroleh. Kalau tidak digaji oleh SMK ataupun negara, lha lalu bagaimana mereka menafkahi keluarga? Bagaimana juga mereka meng-update pengetahuan dan keterampilannya untuk memberi pelayanan yang terbaik bagi para siswanya?

Dengan demikian, agar tidak memberi kesan bahwa judul itu berlebihan, menjadi tugas bagi Radar Semarang untuk menggali informasi lebih akurat ketika membuat tulisan-tulisan sejenis seperti di atas.

Komentar IRENE IRIAWATI (LeSPI):

Pengamatan Ibu Christiana Retnaningsih, Ketua Dasa Wisma Kelengkeng, RT 04 RW 07 Kampung Tengger Semarang cukup komperehensif, menyangkut aspek logika bahasa, kandungan gizi, hingga perlunya informasi tambahan hingga tulisan Radar Semarang itu tidak berkesan mengada-ada.

Memang, Bu Retna, tantangan dari pihak media adalah menghadirkan judul yang eye chatching alias menarik perhatian pembaca agar tulisan itu dibaca. Tetapi yang terpenting adalah judul itu benar. Maka, kritik Ibu sangat membantu.

Lalu, mengenai kangkung yang tidak bisa lagi dijadikan sebagai simbol kemiskinan, menarik sekali argumentasi yang dikemukakan. Ya, inilah untungnya kalau Ketua Dasa Wisma (unit yang lebih kecil dari PKK) punya background ilmu gizi, karena profesi sebagai dosen bidang teknologi pangan. Pertanyaannya, apakah ibu punya usul mengenai metafora kemiskinan yang lebih aktual untuk saat ini? Jika ada, mungkin teman-teman media sangat berterima kasih.

Terakhir, soal ”Guru Rela Tak Digaji” yang berkesan berlebihan karena informasi itu hanya datang dari Wakil Kepala Sekolah, saya sepenuhnya setuju. Memang dibutuhkan info tambahan mengenai ”heroisme guru” itu, baik dari pihak guru-guru bersangkutan (mengenai penghasilan mereka) ataupun dari para siswa (mengenai performace guru ketika melayani para siswanya). Di dalam jurnalistik, ini yang dinamakan cover both side (peliputan dari banyak sisi), yang tujuannya adalah untuk menjaga bahwa informasi yang diberikan ke publik benar-benar akurat, sesuai fakta.

Terlepas dari itu semua, saya pribadi menaruh apresiasi atas liputan Radar Semarang, untuk menghadirkan profile sekolah yang punya daya juang, di tengah keterbatasan yang dimilikinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)