14 Oktober 2009

Pertanyaan Wartawan Jangan Bias Gender

Oleh Siti Munasifah (Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Wilayah Jawa Tengah)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Topik : Perempuan
Media : Jawa Pos
Judul Berita : Anggota DPR yang Dikejar Waktu Menyelesaikan RUU,
Rapat Sampai Malam, Berharap Bisa Mudik Lebaran
Hari/Tanggal : Rabu/16 September 2009
Posisi : Halaman 2, kolom 1-7 (bawah), non headline
Foto klik di sini
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Liputan ini tentang aktivitas dua anggota DPR RI periode 2004 -2009 yaitu seorang perempuan bernama Nursyahbani Katjasungkana (PKB) dan laki-laki bernama Arbab Paproeka (PAN). Keduanya sibuk mengikuti berbagai rapat untuk menuntaskan tumpukan rancangan undang–undang (RUU) yang ditargetkan selesai sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 1 Oktober 2009.
Mereka digambarkan bekerja secara total, dari pagi hingga larut malam, berpindah dari satu rapat ke rapat yang lain. Sama–sama menjalankan puasa, sama–sama punya komitmen untuk menyelesaikan tugas meskipun mereka tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR. Sama–sama mempunyai keluarga.
Hal yang menarik adalah pertanyaan dari wartawan tentang “ Bagaimana tanggapan keluarga terhadap aktivitas Nursyahbani?”. Pertanyaan yang di jawab klise oleh Nursyahbani : anak dan suami memahami kesibukannya, dia berupaya mengefektifkan waktu yang sangat sedikit bersama keluarga. Di antaranya waktu sahur dan berbuka, sedapat mungkin dilakukan bersama keluarga.
Bahkan untuk meyakinkan wartawan Nursyahbani mengatakan “Jangan salah saja, gini-gini saya lumayan pinter masak lho, dari masakan Madura sampai Perancis dan Italia”.
Dari ungkapan narasumber, dia sebagai aktivis perempuan terjebak pada pertanyaan wartawan, seolah-olah perempuan yang hebat adalah perempuan yang selain bisa berkarir juga tetap tidak melupakan “kodrat”nya sebagai istri dan ibu yang baik.
Tentu saja hal itu sangat bias gender. Seolah–olah tolok ukur keberhasilan seorang perempuan tetap tergantung pada peran dia di ranah domestik. Media turut kembali mengukuhkan budaya patriarkhi yang selama ini susah payah dilawan oleh perempuan.
Jika masyarakat kurang cermat, mereka akan beranggapan bahwa Nursyahbani layak dianggap perempuan yang hebat karena selain sebagai anggota DPR dia juga masih sebagai istri dan ibu yang baik, sehingga ini harga yang harus dia bayar supaya keluarga (anak dan suami) memahami kesibukannya. Masyarakat pembaca tentu akan menjadikan Nursyahbani sebagai public figure.
Berbeda jika seandainya dalam menjawab pertanyaan tentang tanggapan keluarga, misalnya Nursyahbani menyatakan keluarga keberatan karena aktivitasnya dan dia memang kebetulan tidak pandai memasak missalnya, tentu wartawan tidak akan menampilkannya sebagai public figure. Dia akan dianggap perempuan yang gagal dalam hal membina keluarga dan mendapatkan cap negative dari masyarakat.
Pertanyaan serupa tidak diajukan kepada tokoh laki–laki ( Arbab Paproeka), setidaknya tidak di tampilkan dalam liputan. Padahal sebagai seorang suami dan bapak, karena aktivitasnya sebagai anggota DPR juga terpaksa meningggalkan keluarga. Ini sangat bias gender. Seolah– olah jika laki –laki karena pekerjaannya memiliki waktu yang sedikit untuk anak dan istri, dianggap suatu hal yang wajar dan otomatis dimaklumi, tidak ada yang akan mempermasalahkan.
Meskipun sama–sama pulang larut malam, sama-sama sering berkegiatan di hotel, laki–laki tidak akan mendapatkan cap negative seperti perempuan. Hal inilah yang sebenarnya harus dikritisi. Media sebagai sumber informasi bagi masyarakat seharusnya bisa sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi. Artinya media mampu memberikan informasi sekaligus memberikan pengertian kepada masyarakat misalnya dengan tidak memberikan pertanyaan yang menjebak pada pandangan yang bias gender.
Salah satu contoh pertanyaan yang bias gender adalah menanyakan sikap keluarga terhadap pilihan perempuan untuk berperan di ranah public, sedangkan tidak dipertanyakan kepada laki –laki. Pertanyaan tersebut akan memancing jawaban yang bias gender pula bahkan dari seorang aktivis sekaliber Nursyahbani sekalipun. Dan jika tidak hati – hati bisa melanggengkan budaya patriarki yang selama ini dengan gigih dilawan oleh kaum perempuan
Hal lain yang perlu dikritisi dalam penulisan liputan ini adalah, penyebutan ”mantan aktivis perempuan” terhadap Nursyahbani. Sebutan ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa beliau sekarang bukan lagi seorang aktivis perempuan. Padahal selama ini Nursyahbani masih sangat vocal dalam isu–isu terutama yang berkaitan dengan perjuangan kaum perempuan. jadi sangat janggal menyebutnya mantan aktivis perempuan.
Aktivitasnya di gedung DPR RI yang tidak kalah dengan laki –laki adalah representasinya dalam berjuang untuk mengangkat peran perempuan dalam perjuangan memperoleh hak haknya yang selama ini belum dipenuhi secara maksimal. Jadi wartawan harus lebih hati–hati dan cermat dalam menulis suatu berita / liputan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentarnya Ya :)